Senin, 21 Januari 2008

Ooh..Sepak Bola

Lagi-lagi sepak bola dalam negeri kita memberikan suguhan yang 'menarik' untuk disimak. Beberapa pengamatan membuktikan bahwa saat ini bukan hanya bola saja yang dimainkan (baca: ditendang), namun juga pemainnya.
Aksi-aksi Aremania pada pertandingan Arema Malang melawan Persiwa Wamena. Penonton pun membabi buta turun ke lapangan dan menghabisi fasilitas yang ada dengan batu dan barang-barang lainnya. Di lain waktu, pemain pun tidak mau kalah pamor dalam mempertontonkan luapan emosi mereka pada akhir pertandingan Persija melawan Persik Kediri (18 Januari, 2008). Kiper Persija Khmaruk mencekik Christian Gonzales karena kesal dan diikuti oleh pemain Persija lainnya.
Memang wajah bopeng sepak bola dalam negeri kita sudah terlalu jelas untuk dilihat. Dari semua faktor pendukung seperti suporter, pemain dan mungkin hingga ofisial sudah tiada lagi mengusung embel-embel sportifitas dalam berolahraga. Sepak bola adalah olahraga rakyat, yang permainannya lebih dari menendang, menyundul dan menepis bola. Tetapi itu juga berlalu untuk para atlitnya dijadikan objek untuk ditendang, disundul dan ditepis. Atlit, ofisial apalagi penonton tak jarang meng-embat para wasit karena keputusan mereka yang dianggap merugikan.
Sportif atau sporadis. Inilah pilihan kita saat ini terhadap sepak bola. Sekarang tinggal kita yang menentukan, pilih mana?

Selasa, 08 Januari 2008

It Was Only A Gift


15 September 2007. Jariku sedang terbelit-belit oleh seutas tali tambang yang tipis. Aku sedang mengikatkan tali tersebut pada sebuah kayu, yang kuambil dari sumpit-sumpit bekas di belakang rumah. Tampaknya membuat sebuah prakarya lebih sulit dari yang telah kuperkirakan sebelumnya. Ya! Prakarya berupa hiasan gantung yang terbuat dari kayu berbentuk huruf ‘M’ yang berulirkan tali tambang dan cukup banyak cangkang kerang menggantung di tiap-tiap sudut hurufnya.

Ini memang akan kutujukan kepada Putrika Maya. Wanita yang telah menemaniku tepat satu tahun belakangan. Karena pada dasarnya aku memang bingung hendak menghaiahi apa di tanggal bersejarah itu. Akhirnya kuputuskan untuk berkeluh-kesah membuat sebuat hiasan gantung, daripada aku dengan ‘bangganya’ terpaksa membeli haiah untuk orang yang kucinta. Seperti halnya laki-laki lain pada umumnya; bersandar kepada instannya sebuah pemberian dan kemuian melihat orang yang dikasihinya tersenyum gembira. Menurutku aku berbeda dari kebanyakan orang. Dan aku memang merasa telah meninggikan hatiku sesaat untuk beberapa hal seperti itu.

16 September 2007. Akhirnya kuberikan juga hasil tanganku kepadanya. Yak! Aku menerima sebuah senyuman! “Alhamdulillah, seenggaknya gue udah ngasih sesuatu yang gue buat sendiri di satu taunan kita,” gumamku. Ia sedang mengamati hiasan tersebut, tak lama kemuian berkomentar “Kamu kreatif banget siiih!” Sebuah simpul senyum mampir ke bibirku. Sejak kata-kata itu terlontar darinya. Lantas ia menggantungkan hiasan tersebut di langit-langit teras belakang rumahnya. Di depan taman yang cukup luas. Lengkap dengan segala bunga-bunga tropis yang menghiasinya. Namun hanya untuk sementara saja, karena ia akan membawa hiasannya ke Bandung esok harinya. Bahagia pun pelan-pelan masuk menyejukkan hatiku. Ibarat angin semilir yang meniup teriknya siang. Sejuk sekali. Atau seperti anak kecil yang dipuji gurunya atas nilai yang baik. Namun, tak tahu mengapa ada perasaan seakan-akan Maya tidak begitu senang dengan haiah dariku. Namun aku tak mau ambil pusing, mungkin itu hanya ekspresi. Mungkin berbeda di dalamnya. Apa yang ia rasakan, cukup menjadi rahasianya saja.

*** ***

25 April 2008. Aku sedang bermain dengan kucing-kucing kecil di teras itu. Teras yang sama, tempat aku dan Maya biasa bercengkrama. Entah biasanya menunggu makan, mencari angin, bermain dengan kucing-kucing, atau malah hanya ngobrol masalah hubungan yang tidak pernah ada habisnya. Seperti biasa, aku tidak mau iajak ke dalam rumah karena sangat menikmati angin malam yang sejuk. Maya hanya iam saja. Ia tidak berbicara, hanya sesekali bercanda dengan kucing-kucingnya.

Aku melihat hiasan gantung yang kuberi masih tergantung di langit-langit teras. Dengan beberapa perubahan tentunya. Kusam, sedikit berlumut dan terlihat dekil tentunya. Aku tak tahu, mungkin karena sering terkena hujan yang beberapa bulan ini selalu turun dengan buasnya. Warna-warni kerang yang dahulu masih indah sudah mulai pudar. Mungkin jenuh terbasuh air dan debu yang menempel setelah sekian lama tergantung. Kuperhatikan, beberapa lengan kayunya patah. Mungkin karena beban kerangnya tidak seimbang. Maklum aku bukan seniman, melainkan hanya seorang yang sok tahu dan membuat hiasan gantung tanpa dasar apa-apa, hanya niat dan keinginan. Aku miris melihatnya tergantung tidak terurus dan jelas-jelas telah rusak dan kusam. Keikhlasanku diuji, sudah seharusnya pemberian itu dipindahtangankan atas dasar kepercayaan dan kerelaan yang sepenuhnya. Maya hanya iam. Tak bicara untuk beberapa saat, lalu meminta maaf untuk hiasannya. “Yaaaah, maaf ya Lend,” tukasnya. Aku mengangguk dengan isyarat mengiyakan. “There’s more than meets the eye,” menurutku sejujurnya aku tidak perlu menunjukkan apa yang aku rasakan.

Kukira hiasan tersebut sudah ia bawa ke Bandung, di gantung di kamarnya. Diperhatikan setiap hari setiap malam sewaktu-waktu ia rindu atau hanya iseng. Biasanya, jika para wanita merasa kesepian, mereka akan mencoba untuk melihat hal-hal yang unik. Menurutku hiasan gantung kerang tersebut cukuplah untuk mengisi sepinya waktu. Jika tungkai huruf M-nya diputar, maka kerang-kerang tersebut biasanya saling bertumbukan satu sama lain dan mengeluarkan suara Klak! Klak! Klak! Manis sekali, apalagi saat tertiup angin dan berulir dengan sendirinya.

“Udahlah Lend, itu kan cuma impian loe doang!”, kataku dalam hati. Sambil melihat hiasan tersebut tak ubah seperti halnya barang rongsok yang siap masuk tong sampah. Karena hampir tiada artinya lagi, terkecuali karena itu adalah hasil sebuah niat baik. Tampaknya kata-kata hanya ada di permukaan, namun aku yakin jika niat bisa menjadi kenyataan tanpa kata-kata sekalipun. Jika ia mau membawanya ke Bandung, mungkin kondisinya masih lumayan baik sekarang. Setidaknya hiasan itu tidak perlu ‘menderita’ didera angin dan hujan.

Singkat saja kesimpulanku. Inilah arti dari sebuah pemberian. Harus direlakan sepenuhnya dan jangan pernah melihat alasan apapun dibaliknya. Dan inilah juga manusia, penuh pengharapan dan mustahil untuk sepenuhnya menerima. Ah, aku kembali tersenyum simpul. Tak kukira akan mampir lagi senyum ini di bibirku. Dengan hati yang berbeda tentunya. Maya pun hanya memandangi taman yang menghiasinya. Terdiam.

*** ***

Rabu, 02 Januari 2008

Penantian

Oo mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu...
Untuk ada disini menemaniku...
- Kekasih Sejati, Yovie Widianto-
Lagu itu selalu ada dalam benaknya. Paling tidak sejak ia nyanyikan atas permintaan seseorang di waktu lalu. Jauh dulu, sebelum segara memisahkan mereka. Sebelum dia berdiri di dermaga tua.
Dengan seluruh tumpah peluhnya, dia tetap menunggu di dermaga itu. Menunggu tiap-tiap kapal yang singgah. Menghitung berapapun penumpang yang naik-turun kapal. Dan dia sadar betul, kalau sebenar-benarnya arti sebuat penantian sangatlah sederhana. Dia harus membawa segenggam kesabaran untuknya. Senja yang kosong menjadi temannya berbagi jua.
Rambutnya yang tebal, lurus dan hitam terlihat tergerai dikais-kais oleh angin timur. Yang dari tadi tak henti-hentinya meniupkan suara baling-baling kapal. Separuh dari wajahnya tertutupi oleh rambutnya. Kemudian seorang bocah memanggilnya. "Dari tadi saya lihat Kakak hanya berdiri di tepian dermaga ini..Apa atau siapakah yang Kakak tunggu?". Dia hanya diam dan tersenyum melihat bocah tersebut. Lalu sang bocah bertanya kembali, "Kenapa Kakak hanya senyum saja?", sambil melihat ke tepian dermaga, ke dasar pantai tepatnya, tempatnya bermain dengan anak-anak yang lain mencari kerang yang biasa dijadikan hiasan gantung oleh penduduk sekitar. Dia kembali tersenyum dan berkata, "Saya menunggu seseorang yang datang atas nama kebahagiaan". Si bocah itu terdiam tak bicara. "Iya, kebahagiaan", ujarnya sekali lagi. Si bocah tidak lagi menghiraukan dan langsung terjun ke air dari pinggir dermaga. Byur! "Inilah kebahagiaanku, bermain dengan teman-teman", kata si bocah. "Aku tak harus menunggu siapapun Kak!". Dia tetap saja tersenyum melihatnya. Dan kembali menunggu.
Alhasil malam pun jatuh di tengah penantiannya. Benar sekali, kapal terakhir telah tiba. Biasanya kapal terakhir tiba tidak lebih dari pukul 7 malam. Atau tepat dimana matahari telah kembali ke peraduannya. "Selayar 1" tertulis di punggung kapalnya. Inilah kapal yang akan menjawab penantiannya. Beberapa awak terlihat sibuk menggotong peti-peti kayu yang ukurannya cukup besar. Dua orang sedang mengikatkan tambang ke tiang pancang dermaga dan yang satu sedang melepaskan jangkar. Satu persatu meninggalkan kapal, hingga terakhir sang nahkoda turun dari dek menggenggam teleskop tua miliknya. Kapal ini ternyata tidak berpenumpang. Sirna sudah laki-laki yang dinantinya. Entahlah laki-laki itu, mungkin hilang ditelan malam. Sirna sudah senyum di wajahnya, yang sedari tadi menghiasi rautnya.
Usai sudah penantiannya untuk hari ini. Esok akan datang membawa hari yang lebih baik untuknya. Paling tidak hanya hal tersebut yang dapat ia percaya. Perlahan-lahan ia melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan dermaga. Sebenarnya dermaga ini pun sudah terlalu tua untuk dijadikan tempat penantian. Terdengar dari bunyi gemeretak kayu-kayunya ketika telapaknya mejejak diantaranya. "Ya, ternyata memang ini dermaga penantian", gumamnya. Bulan telah naik perlahan ke singgasananya, meninggalkan cahayanya kepada bayang sang gadis. Dermaga kali ini tampak terang, berbeda dengan waktu-waktu lalu. Dimana penantian hampir selalu ditutup dengan kegelapan.
Ia pun pada akhirnya berpaling dari dermaga itu. Menelusuri pasir putih yang membatasinya. Menutup hatinya akan penantian untuk malam itu saja. Esok akan kembali menanti dengan berbekalkan kesabaran dan senyuman lagi. Tepat begitu dia mengakhiri niatnya dalam hati, seseorang memanggilnya. "Raya", suara yang sangat dia kenal. Lelaki itu telah tiba. Dari perahu lain, dermaga lain, dengan harapan yang sama. Tiada yang tahu, tiada pernah ada yang tahu. Membawa sepucuk surat untuknya bertuliskan...
Penantian hari ini...
Untukmu. Untuk kita.
Perahu lain akan selalu ada
jika yang lain meninggalkan
Harapan akan selalu tiba
Jika kita tidak pernah meninggalkan
Di sini. Di hati