Rabu, 05 November 2008

Hari Pun Berakhir...

Ternyata, semangatku masih ada. Setelah seharian bekerja, berpikir, berdebat dengan rekan-rekan kantor yang tampaknya hampir tak akan menemui ujungnya. Jika pemikiran hanya diletakkan pada sebuah meja bundar, apalah yang bisa kita petik darinya? Memang, tidak semua orang suka akan kejelasan berpikir. Buatku itulah inti dari tanggung jawab akan pekerjaan yang sebenarnya.
Terus terang aku cukup lelah hari ini dan pada akhirnya aku baru meninggalkan kantor pada pukul 19.45. Agaknya langkahku semakin berat, karena luka di pangkal paha luarku yang masih segar karena menghantam tanah waktu main sepakola sore kemarin di lapangan Teluk Air - stadion terbesar kedua yang ada di Pulau Karimun. Naik angkot pun berat rasanya, karena luka yang bersinggungan dengan celana katunku. Jalan-jalan utama telah gelap saat itu. Hanya beberapa toko kelontong yang masih buka di pinggir kiri jalan. Itupun ditinggalkan para penjaganya karena sibuk main kartu dan taruhan. Sebenarnya, Pulau Karimun ini tak pernah menjadi pulau mati di saat matahari telah hilang ditelan lautan, apalagi di jalan-jalan utama. Namun tak tahu mengapa malam ini terasa sedikit berbeda.

Di sepanjang jalan, sekitar lima ratus meter dari kantor, terlihatlah kapal-kapal yang ditautkan. Kapal-kapal besar yang diistirahatkan setelah berhari-hari dipaksa para nahkoda mengarungi lautan barat Sumatera. Menurutku, pantai barat ini seperti sarang kapal. Diantaranya ada kapal-kapal yang telah usang, seperti kapal mati. Tidak pernah lagi digunakan dan dibiarkan saja seperti bangkai sapi yang ditinggalkan oleh sekumpulan serigala setelah mereka puas memburu dan menyantapnya. Di waktu malam, kapal-kapal tersebut terlihat suram dan pasang-surut air laut dapat dengan mudahnya memasuki lambungnya yang berlubang seperti goa. Aku dapat melihat dengan jelasnya, diantara temaran cahaya bulan yang malu-malu memantulkan sinarnya. Jika dilihat dari jauh, hanya akan terlihat seperti reruntuhan benteng-benteng Belanda yang digulung ombak di tepi pantai.
Angkot pun terus jalan dan pengemudinya pun tampak lunglai. Mungkin karena seharian mendekam di depan setirnya yang sedikit koyak pegangannya. Aku pun sebenarnya bingung mengapa hari ini terasa begitu monoton dan keadaan tampak seperti mati. Hingga akhirnya aku turun sekitar di sekitas jalan dekat kejaksaan.
Malam ini aku melalui jalan yang tidak biasa aku lalui. Aku turun sebelum gang yang biasanya kulewati sebelum tempat pemberhentian angkot yang biasa. Sebenarnya aku menemani salah seorang supervisor wanita di kantor yang juga pulang agak larut malam ini. Mbak Nur, begitu aku memanggilnya. Aku mengantarnya hingga ke tempat kosnya. Sekalian melihat jalan lain menuju ke tempat kosku. Jalan itu sepi, kecil, melewati kebun yang tidak jelas siapa pemiliknya, berpapasan dengan beberapa sepeda motor yang lampunya redup, sampai-sampai kukira itu adalah gerobak sate dari jauh. Tempat kos supervisor tersebut berada di sebelah kiri jalan, agak menanjak sebelum akhirnya tiba juga disana.
Tiba-tiba aku mendengar seorang yang misuh-misuh kehabisan air karena pompanya yang macet. Laki-laki itu bernama Agni. Aku hanya tersenyum melihatnya, karena tingkahnya yang setengah pasrah dan setengah kesal karena dia ingin mengambil air wudhu. Mbak Nur pun hanya ketawa-ketiwi menanggapinya. Kami sempat mengobrol sebentar di teras tempat kosnya. Tak kusangka bahwa ternyata ada beberapa rekan kerjaku juga tinggal di rumah yang sama dengan Mbak Nur. Dewi ternyata menemani Mbak Nur di kosnya dan Didi tinggal persis di rumah sebelahnya. Menurutku, mereka itu orang-orang yang baik dan hidup dalam kesederhanaan. Kukira hari-hari mereka dihabiskan dengan menikmati pekerjaan dan malam-malamnya dengan berkumpul bersama membicarakan hal-hal remeh penuh canda. Mereka itu orang-orang yang punya keseimbangan hidup. Sesuatu yang belum tentu dimiliki orang lain yang hidup di kota-kota besar, dimana persaingan menjadi titik yang paling terang dan harus dikejar di kepala mereka. Kita ini orang-orang tenang dan dibalik ketenangan selalu ada kebijaksanaan yang pastinya tidak akan dimiliki orang-orang perkotaan.
Aku berbincang cukup lama. Waktu terasa seperti dihambur-hamburkan begitu saja, tanpa memikirkan kepentingan untuk istirahat. Kurasa aku menikmatinya. Kami tertawa bersama, diantara kesalnya Agni yang masih sibuk memikirkan pompa. Kami bercerita tentang seseorang di kantor yang sedang dirundung duka karena dikhianati istrinya. Hendro namanya. Seorang pria kurus, tinggi, berambut pendek cepak dan jika berjalan tampak seperti menaiki angin karena keringanannya. Dia pun orang yang baik dan senang bercanda. Namun sekitar dua hari belakangan aku beberapa kali mendapatinya tampak konsentrasi di depan komputer dengan tatapan kosong. Kosong dan bolong. Aku tahu itu. Mungkin pikirannya sedang terbang melayang ke tanah Jawa, mencari istrinya yang dipaksa pergi oleh mertuanya karena kepentingan yang menurutku sangat klise dalam kehidupan keluarga. Akibat beban hutang yang menjebol saku mertuanya, sang istri harus rela diakuisisi kembali dan ditawarkan kepada sang penagih hutang. Manakala Hendro hanya dapat bermimpi untuk mendapatkannya kembali. Menurutku realita itu tidak adil baginya. Bayangkan saja, seorang yang telah merelakan pergi jauh merantau untuk alasan mengenyangkan perut keluarga, sekarang dihadapkan oleh cinta yang ternyata tidak buta. Atau cinta yang ternyata seperti kontrak kerja yang dapat diputuskan berdasarkan kepentingan pihak ketiga. Apalah itu artinya, sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya lagi. Aku sangat prihatin Aku merasa beruntung dan mungkin semua orang yang ada disitu pun menyadari hal yang sama bahwa nasib itu sepenuhnya dapat terombang-ambingkan dengan cepatnya. Lalu setelah beberapa lama bicara dan berempati, kami pun diam atas nama kesadaran masing-masing.
Aku lalu pamit untuk pulang dan kembali harus melewati lorong-lorong jalan yang gelap dan berbau sedikit tengik. Aku tahu betul ada anjing liar yang sedang mengais-ngais tempat sampah di sekitar. Keadaan terasa begitu mencekam malam ini. Entah karena sendirian atau karena anjing kotor yang sudah pasti tidak bersahabat karean kelaparan. Kalaupun dia mendekati dan menyerangku karena menganggap diriku ini asing, akan kurelakan laptopku untuk kuhantamkan ke rahangnya. Biarlah harga 10 juta, asalkan kakiku tidak disikatnya. Kemudian, hanya dengan melihat kubah masjid yang terhalang beberapa atap rumah, aku pun kembali tenang. Aku mempercepat langkah dan akhirnya kakiku pun tiba dengan lelahnya di depan pagar rumah kosku.
Aku langsung membuka pintu kamar dan merebahkan diri dengan pasrahnya. Aku lelah dan mungkin tawaku telah habis malam ini, mungkin akan diam berjam-jam kedepan bagaikan tiada mempunyai mulut untuk bicara. Lima belas menit berlalu dan tiba-tiba seluruh cahaya lampu hilang entah kemana. Kosku terserempet pemadaman listrik bergilir malam ini. Sial sekali aku malam ini. Sumpah serapah kuucap dan aku memaki-n maki seluruh isi kamar yang ada. Termasuk lemari, kasur yang tidak bergeming, AC yang tidak berdaya untuk mendinginkan dan handuk yang terkapar di lantai karena aku lupa menjemurnya pagi ini. Badan ini lelah. Lengket pula setelah seharian bertempur dengan pekerjaan dan berhadapan dengan debu dijalanan. Mandipun belum. Ah! Aku ingin tidur saja. Namun kurasa cerita ini terlalu sayang untuk ditidak diabadikan. Lantas kunyalakan laptopku dan kutulislah semuanya. Entahlah kapan cerita ini akan berakhir. Bahwasanya titik terakhir belum tentu menjadi ujung dari ceritaku hari ini. Namun aku harus mengakui, bahwa hari ini pun berakhir dan tak akan ada yang dapat merubah ceritanya. Menulis pun rasanya hampa dan jemari mengetik bagaikan idle hands yang bergerak tanpa pernah diperintah. Terserahlah...
Tanjung Balai Karimun,
6 November 2008
Nalendra