Senin, 03 Maret 2008

Kacamata Tua

Beliau masih ingat betul long march itu. Perjalanan panjang yang melelahkan melintasi daratan Jawa. Kala itu, ribuan orang berbondong-bondong menembus rimba raya yang membentang sepanjang jalan. Sepanjang Madiun dan Siliwangi, mereka terus berjalan. Beberapa peleton dari kesatuan divisi Siliwangi, divisi Diponegoro beserta keluarga, kesatuan pelajar pejuang, para perempuan yang menggendong bayi dan anak-anak mereka, petani hingga para wakil-wakil desa, semua berjalan bersama kala itu. Jawa Barat menjadi area yang lebih aman bagi mereka, karena tiap-tiap kita dijaga oleh para tentara dari Divisi Siliwangi. Beliau selalu mengenang masa-masa kelam yang pernah mengisi bab-bab hidupnya. Dahulu kala, di saat perjuangan masih bersimbol lengan baju yang disingsingkan dan bambu runcing dikepalan tangan.

1948. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, menanggalkan perasaan takut di wajah rakyat. Dimana nyawa rakyat digunakan sebagai tameng atas kekuasaan dan Madiun menjadi salah satu sarang mereka. Antara TNI dan PKI, ribuan peluru pun harus direlakan untung menembus badan. Peristiwa pengambilalihan Madiun saat itu dari tangan PKI oleh barisan tentara nasional.

Dzamhur Gandapura, sebuah nama yang pemiliknya tidak ingin disebutkan jabatan atau pangkatnya, prihatin dengan apa yang sedang beliau saksikan saat itu. Berjalan bersama para pejuang yang harus merelakan telapak kakinya melepuh-lepuh dimakan aspal dan tanah. Menerobos suramnya hutan-hutan pedalaman dan sepanjang jalan diliputi kengerian yang luar biasa bersama dengan ribuan pengungsi yang mengejar penjaminan keselamatan di daerah-daerah kantong di Jawa Barat. Bagaimana tidak, para pejalan dihadapkan oleh dua opsi; memilih jalur-jalur utama artinya menyerahkan badan untuk di bom oleh pesawat udara mata-mata Belanda, sedangkan memilih jalur pedalaman artinya berhadapan dengan medan yang tidak menentu dan sangat berat bagi mereka yang bukan tentara. Beliau menjadi bagian yang setengah menderita, sekaligus menjadi tameng bagi mereka yang lemah. Itulah pengabdian.

Sejak dahulu kala, kebebasan adalah hak manusia yang paling dasar. Terlalu banyak arti kebebasan dan masing-masing dari pengartian tersebut tidak pernah salah. Bagi mereka yang mengaku bangsa Indonesia, kebebasan adalah hidup yang sepenuhnya dapat menghirup udara tanpa pernah ditudungi oleh peluru dan bom-bom yang berjatuhan. Tahun 1945, ketika Bung Karno menggelorakan proklamasi, adalah fase pertama dari kebebasan. Lalu dimanakah tempat yang seharusnya bagi 'kemerdekaan' yang justru ditempatkan di nomor paling atas daftar doa dan pengharapan? Menurut beliau, kemerdekaan adalah tingkat kebebasan yang paling tinggi, dimana Indonesia menjadi salah satu bangsa yang harus membayarnya dengan darah - fighting for the free souls with the highest cost, the cost of blood. Sehingga long march Siliwangi tersebut adalah salah satu lembaran halaman dalam buku "Indonesia Merdeka". Dan buku tersebut tertulis dengan sempurna dihati mereka yang memegang teguh kemerdekaan.

Bagaimana rasanya menjadi pelaku sejarah, kurasa hanya beliau yang tahu. Sejarah kita adalah proses penderitaan bagi para pelakunya, para pejuang, para intelektuil, dan para ibu yang membesarkan anaknya untuk menjadi perisai bangsa. "Kami sudah tidak lagi memikirkan alasan untuk apa kami bertempur di medan perang, karena falsafah itu telah larut dalam darah kami...Kami hanya ingin masa depan yang jauh lebih baik bagi anak-anak kami", ujar beliau.

Sungguh, jika ada yang ingin mengukur kualitas dari ketahanan mental suatu bangsa, maka lihatlah ke belakang disaat kemerdekaan diperjuangkan. Dan dengarkanlah suara hati mereka yang dulu pernah bersimbah darah dan meregang nyawa di pucuk senjata. Biarkanlah mereka melantang tentang pengharapan mereka, berilah mereka sedikit waktu untuk menyadarkan kita bahwa perjuangan itu memang semestinya dilanjutkan. Berilah mereka semuanya. Semuanya yang berhak untuk dimiliki mereka selepas pertarungan dengan kerasnya perjuangan dan manifesto-manifesto politik luar negeri yang malah menjerumuskan bangsa ini. "Kami sudah terlalu lelah dengan pergolakan, tetapi jiwa kami masih muda untuk mendukung pembangunan", ujar beliau. Kurasa tiada kata yang paling tulus yang pernah kudengar, setelah kata-kata beliau.

Kembali ke long march Siliwangi tersebut, yang beliau ingat saat itu hanyalah setitik harap dan penantian jika kemerdekaan telah beliau rasakan. Beliau akan senyum selepasnya. Tidak peduli berapa luka yang menghinggapi itu tubuh. Dan hidup saat itu bukanlah hanya sesederhana menang-kalah permainan, walaupun merdeka adalah memenangi rentetan peristiwa bergumulnya suatu bangsa dengan badai. Merdeka itu adalah penjaminan diri bagi mereka yang mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Long march tersebut adalah simbol bahwa sehebat apapun aral melintang, sesakit apapun jiwa yang telah dikhianati para komunis, dan semematikan apapun representasi malaikat pencabut nyawa dalam bentuk peluru dan geranat tidak akan membuat mereka gentar. Mereka adalah pejalan larut, ribuan kilo dari Madiun ke Siliwangi. Yang ribuan penerus-penerus perjuangan itu justru lahir dari rahim-rahim para ibu yang berjalan saat itu.


********* ********** **********

Sementara itu, beliau termenung menyaksikan tawuran salah satu universitas di Makassar yang berkedok pembebasan mahasiswa. Beliau berdiri menganga saat melihat para koruptor membolak-balik keadilan hukum, mendengarkan diskusi yang membahas ringkihnya kekuatan politik dan hankam nasional seusai pelepasan Timor Leste ke tangan Portugal, merenungi juara-juara agama yang sibuk berpoligami dengan alasan diperbolehkan secara syar'i oleh agama, dan mungkin dalam hati meratapi ribuan korban narkoba yang semakin menggerayangi generasi muda kita. "Untuk inikah hasil yang kami petik atas perjuangan kami setelah membayar semuanya dengan darah dan berjuta-juta nyawa, 50 puluh tahun silam?", ujarnya pedih.