Minggu, 28 Agustus 2011

Cerita dari Statenlaan

Saat ini aku sedang duduk santai memandangi jalan raya yang sepi dari balkon kamarku di lantai 3. Tidak terasa 5 hari telah berlalu sejak kedatanganku di bandara Schiphol, Amsterdam. Beberapa menit setelah aku menginjakkan kaki di pintu keluar bandara terlihat Intan dan Indri, langsung berlari berhamburan kearahku. Pelukan erat dari para sahabat yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Hidup baruku di negeri kincir angin ini dibuka oleh kehadiran para sahabat. Tentu, dengan segala kecupan hangat yang mendarat dipipiku. Kami bepergian bersama naik kereta Amsterdam-Tilburg-Utrecht di hari pertamaku. Di kepalaku masih terbayang wajah Ayah, Ibu, dan adik yang kemarin menangis terisak-isak di pelukanku. Beberapa saat sebelum kepergianku.


Aku tiba di kota Tilburg setelah menginap semalam di kota Utrecht, di apartemen Intan. Belanda merupakan salah satu negara dengan sistem transportasi yang paling maju di Eropa. Baik sistem antar kota, maupun inter kotanya. Hari keduaku dimulai dengan 'tenggelam' di tengah padatnya kerumunan manusia yang lalu lalang di statiun utama Utrecht. Aku sempat bingung untuk mencari jadwal kereta yang menuju Tilburg. Untunglah beberapa saat kemudian aku berhasil menemukan kereta nomor 15 setelah dipandu oleh petugas stasiun.


Tilburg adalah kota kecil dengan suasana yang cukup bersahabat bagi pendatang baru. Rumah-rumah penduduk banyak terletak di pinggir jalan. Batu bata penyusun dindingnya terlihat jelas dan rata-rata berjendela kaca lebar. Rumah-rumah di kota ini mayoritas tidak berpagar. Beberapa diantaranya terdapat taman kecil berhiaskan bermacam bunga seperti Dafodil dan Golden Shower warna kuning.


Cuaca di sini sulit diprediksi. Hari pertama kedatanganku, sedikit mendung. Hari kedua, matahari bersinar sepanjang hari. Pagi di hati ketiga, langit tampak cerah, namun gerimis datang dari siang hingga malam. Hari keempat, tidak cerah dan tidak juga hujan, namun sangat dingin dan berangin seharian. Hari kelima langit tampak cerah dan suhu diluar rumah sudah mulai bertambah dingin dari hari-hari sebelumnya.


Tak kusangka, Tilburg dipenuhi pelajar dari berbagai belahan dunia. Tidak terkecuali Indonesia. Banyak sekali pribumi yang melanjutkan studi di kota ini. Sebagian besar dari mereka berasal dari Universitas Indonesia. Tahun ini banyak sekali pelajar yang mengambil program master setelah kudengar selentingan beberapa teman di acara kumpul PPI.


Sebenarnya masih banyak sekali hal yang dapat kutuliskan disini. Namun sebentar lagi pukul 08.48, saatnya berbuka puasa. Mungkin sudah waktunya kututup jendela balkonku dan mulai menyiapkan makanan untuk berbuka. Jalan Statenlaan sudah semakin sepi dan bangunan-bangunan sepanjang jalannya sudah semakin suram ditinggalkan cahaya mentari yang sebentar lagi terbenam.


Barusan saja aku kembali tersadar. Aku sudah di Tilburg dan esok hari akan memulai kuliah umum pertamaku di Tilburg University program Strategic Management. Aku akan menginjakkan langkah-langkah pertama setelah memasuki gerbang besar yang bernama mimpi. Ya, mimpi yang kupatri secara jelas di kepalaku selama beberapa tahun terakhir.


How time flies so fast. But however, do not stop dreaming. It will take you somewhere to a better place! For sure!

Selasa, 09 Agustus 2011

Cerita Sembilan Agustus

Waktu semakin dekat menuju keberangkatanku ke Belanda. Hal-hal yang sudah terbayangkan untuk diurus sekarang datang satu persatu seperti antrian pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan secepatnya.

Sementara itu, hari telah menyentuh sepertiga Ramadhan. Berlalu begitu saja. Terkadang aku hanyut dalam pikiran yang menerawang jauh ke suatu negeri yang jauh itu. Membayangkan seluk-beluk kota dan bangunan-bangunannya. Suasana sore bersama orang-orang belum pernah kukenal sebelumnya. Bayangan yang aneh.

Sudah dua minggu belakangan ini Rhea sering muncul di layar BlackBerry-ku. Entah hanya sekedar menanyakan kabar ataupun bercerita mengenai apapun yang menarik perhatiannya. Aku cukup jarang bertemu langsung dengan Rhea, namun kami seperti saling menyimpan diri pada sebuah layar BlackBerry. Hubungan yang aneh. Aku seperti kehilangan 'sentuhan' untuk memperlakukannya sebagaimana mestinya. Saat ini, lebih baik untukku bekerja sama dengan waktu yang kuharapkan dapat membuat hubungan ini ada di posisi yang lebih baik.

Di perjalanan Bekasi Barat - Jakarta, kami saling menggeledah hati yang terlalu lama ditimbun oleh tumpukan cerita usang bekas peristiwa masa lalu. Beberapa ceritanya terasa seperti alat kejut listrik bertenaga ringan karena banyak hal yang Rhea ceritakan dan tidak pernah kuduga sebelumnya. Sedangkan serangkaian cerita lainnya cukup menyenangkan. Sebagian berhubungan dengan saat itu, sebagian tentang masa depan. Mungkin pintu-pintu masa depan telah diturunkan oleh Sang Penguasa sepanjang jalan tol itu. Sebatas seluruh kata yang dituturkan Rhea. Aku tidak tahu.

Seringkali kami terlihat saling berdiam diri setelah ngobrol beberapa saat. Mencerna kata yang saling-silang kita ucapkan. Penunjuk jalan telah berganti dari 12 km ke 11 km. Mobilku pun melaju semakin cepat, seiring dengan matahari yang mulai turun perlahan dan meredup sinarnya. Waktu semakin berlalu, itu pasti. Tapi Rhea? We'll see.

Senin, 01 Agustus 2011

Matahari Terbit di Tengah Malam

Memasuki bulan suci Ramadhan di tahun 2011, aku merasakan kenikmatan lain yang diberikan Tuhan. Tahun ini aku dapat menghabiskan sebagian besar hari-hariku berpuasa di Jakarta. Di tempat paling nyaman yang pernah ada. Rumah tercinta. Bersama adik, kakak sepupu dan 'mbak si juara masak rumahan yang masakannya tidak pernah mengecewakan. Orangtuaku tinggal di Denpasar, Bali sehingga waktu mereka sangat terbatas untuk sekedar sahur atau berbuka bersama anak-anaknya di Jakarta.

Memulai Ramadhan di Jakarta bukan merupakan hal yang spesial bagi kebanyakan orang, tetapi tidak bagiku. Aku telah menghabiskan tiga tahun berpuasa di Bandung ketika masih kuliah. Setelah itu dilanjutkan dengan satu kali Ramadhan di kota Medan, Sumatera Utara. Lalu dua kali Ramadhan di pulau Batam, Kepulauan Riau. Sekitar enam tahun lamanya aku meninggalkan indahnya Ramadhan di Jakarta dan sebagian besar dari waktu tersebut aku habiskan sebagian besar waktuku sendirian. Terdengar remeh bukan? Tapi itulah yang kurasakan.

Sejujurnya pengalaman melewatkan Ramadhan di kota orang memang terasa sangat berbeda. Hampir dari seluruh keperluannya kita siapkan sendiri. Sebut saja, sahur, berbuka puasa, shalat tarawih, shalat lima waktu, dan sebagian aktivitas lainnya sudah biasa kulakukan sendirian. Dalam arti, benar-benar sendirian. Harus kuakui bahwa melewatkan sebulan penuh seperti itu memang sangat mengedepankan egoisme pribadi. Namun dalam arti yang positif. Aku dapat membuat suasana menjadi jauh lebih kondusif untuk beribadah. Tetapi sebaliknya, aku jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat.

Ya, inilah aku sekarang! Kembali berpuasa Ramadhan di Jakarta. Walaupun demikian, sepertinya aku tidak akan dapat menghabiskan tiga puluh hari Ramadhan tahun ini di Jakarta. Di antara sepuluh hari terakhir Ramadhan, aku akan meninggalkan Jakarta untuk melanjutkan studi S2 di kota Tilburg, Belanda. Sebuah pilihan hidup yang sudah kurencanakan beberapa bulan belakangan. Maka dari itu, aku mencoba untuk menikmati hari-hari berpuasa terakhir di Jakarta ini sebelum memulai perjalanan hidup yang lain.


*** *** ***


Beberapa hari sebelum hilal Ramadhan terlihat di angkasa, aku banyak bicara dengan salah seorang teman baik. Seorang perempuan. Sebut saja namanya Rhea. Dia adalah salah satu orang dalam hidupku yang kuanggap cukup beruntung untuk dapat berjalan beriringan dengan passion-nya. Olahraga. Dia bekerja di salah satu stasiun TV nasional. Berburu berita di seputaran Jakarta terutama mengenai olahraga. Di beberapa kesempatan Rhea membawakan acara berita olahraga dini hari. Di saat kebanyakan orang sudah tertidur larut, aku sering terjebak pada channel hanya untuk menyaksikan temanku yang satu ini bicara begitu teratur dengan gaya sedikit informal.

Belakangan ini kami cukup sering bertukar pikiran soal pekerjaan, cita-cita, keluarga, ataupun masa depan. Terkadang kita bicara mengenai hal-hal remeh. Terkadang kita saling melempar keluh kesah sepanjang jalan dari Kuningan ke Bekasi Barat. Sometimes we talked about random things as we also did random things.

Hari Kamis, 28 Juli 2011, kita sempat menyaksikan pertandingan sepakbola antara tim Garuda Merah Putih kesayangan rakyat melawan Turkmenistan di stadion utama Gelora Bung Karno. Tim nasional menang dengan skor 4 -3. Rhea sangat melek informasi terkini mengenai timnas, karena pekerjaannya banyak berkutat dengan kasus reorganisasi PSSI saat ini. Kita bersorak-sorai bersama sambil sesekali meneriakkan nama-nama pemain timnas entah itu Boaz, Bustomi, Firman Utina...siapapun itu. Bangga rasanya menjadi bagian dari lautan kostum merah di 80.000 kursi penonton di stadion utama.

Dua hari kemudian kita menyempatkan diri main basket bersama di STC Senayan bersama sekitar dua puluh teman lainnya. Kemudian sempat makan siang dan lanjut karaokean di malam harinya. Menyanyikan lagu-lagu aneh. Random! Kali ini sesi ketawa sedikit bergeser tempat dari Senayan ke Bekasi Barat. Pernah terpikir bahwa mungkin ini menjadi kesempatan terakhir untuk dapat menghabiskan waktu dengannya sebelum keberangkatanku ke Belanda.

Jarum jam sedang berhenti di 11.30. Malam pun semakin larut dan aku berpamitan untuk pulang setelahguyonan lepas sepanjang 13 kilometer jalan tol. Sejenak setelah aku tiba di rumah, kita melanjutkan obrolan di teks BlackBerry messenger. Tiba-tiba saja kami saling melepas hati sehingga dia mengetahui apa yang ada di balik pandangan seorang Nalendra. Begitupun juga sebaliknya. Terlalu cepat, terlalu jujur. Logika sempat meninggalkanku sesaat. Seperti pemain sepakbola yang dihantam bola tendangan lawan. Gelap dan hilang arah. Begitu spontan. Aku menjadi linglung apakah hal-hal yang kulakukan ini berujung kepada kesalahan dan ketidakjelasan atau malah sebaliknya. Sesaat aku ibarat air bah yang tidak terbendung lagi oleh dam. Mengalir deras tanpa kontrol. Mengalir kemanapun aku suka ke ceruk-ceruk kecil di hati seorang hawa. Malam itu rasanya begitu terang. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang biasa kuhabiskan sendirian di kamar sambil menonton tayangan National Geographic Wild berkali-kali.


*** *** ***


Dalam waktu dekat aku akan meninggalkan Jakarta dan menuju Tilburg. Kembali lagi hidup berjauhan dengan keluarga, teman-teman, dan suasana Ramadhan yang begitu khidmat di Indonesia. Mungkin kembali bersendiri. Aku tidak tahu pasti. Hari ini tanggal 2 Agustus 2011, keberangkatanku semakin dekat untuk melewati Lebaran di negeri yang dingin. Beribu-ribu kilometer dari Jakarta. Terutama dari Rhea.

Ini adalah Ramadhan yang hangat sekaligus dingin di waktu yang bersamaan. Hangat akan suasana ibadah yang menyelimuti kota Jakarta dan dingin akan suasana hati yang akan segera meninggalkan 'kediamannya'. Hidup memang aneh tetapi setidaknya, aku masih dapat menjalani sebagian malam Ramadhan ke depan untuk berbicara dengan seseorang yang telah memperlihatkan sekelumit perasaannya.

Lama-kelamaan aku merasa seperti melihat matahari perlahan-lahan bangun dari tidurnya dan terbit di tengah malam. Matahari yang senantiasa menghangatkan pagi, sekarang tiba menghangatkan malam. Bersamaan dengan obrolanku dengan Rhea. Matahari yang terbit dan terbenam lebih cepat dari biasanya. Matahari yang mampir kemari disela-sela waktu sahur. Aku pun tahu, waktu terbenamnya matahari tengah malamku akan datang beberapa saat setelah adzan shalat Fajar dikumandangkan. Tak lama kemudian, terbitlah matahari lain yang siap untuk menyinari dunia. Lebih terik, lebih terang. Tetapi tidak lebih hangat dari yang baru saja tenggelam. Sungguh aku tak percaya bahwa sekarang aku bercerita tentang perasaan. Sesuatu yang sempat kuabaikan sementara waktu.

Jakarta sekarang kembali berlari. Menyambut hari lain di Ramadhan kini. Lantas kita saling bersapa lagi. Selamat pagi.