Selasa, 22 Februari 2011

Opa Boy

Dulu aku hanya berpikir bahwa mimpi hanyalah gambaran-gambaran imajiner yang ada di kepala manusia. Mimpi-mimpi itulah yang akan menentukan kemana hidupku akan dilanjutkan di masa depan. Terbersit olehku baru-baru ini bahwa mimpi dapat tumbuh baik di benak masing-masing orang maupun ditanamkan melalui orang lain.


*** *** ***


Ini cerita singkat tentang seorang teman baikku ketika aku masih bertugas di Batam, Kepulauan Riau. Kami memanggilnya Opa Boy. Dia berpostur sedikit tambun, dengan tinggi sekitar 182 cm, rambutnya sedikit panjang melebihi cuping telinga, berkulit sawo matang, dan membawa ribuan Rata Penuhamunisi bahan peledak tawa di tempat dia menginjakkan kakinya (baca: pelawak). Dia sudah berumur diatas 40 tahun dan termasuk orang yang dituakan di kantor kami di Batam. Oleh karena itulah kami memanggilnya 'Opa'.

Secara garis besar ada tiga golongan orang yang menempati Batam. Golongan pertama adalah mereka yang memang penduduk asli Batam. Golongan kedua adalah mereka yang berasal dari luar dan sudah menetap secara permanen di Batam. Kemudian golongan ketiga adalah mereka yang berstatus sebagai komuter dan tinggal di Batam hanya atas tuntutan pekerjaan. Opa Boy adalah 'penghuni' golongan ketiga ini. Opa Boy telah menghabiskan sekitar 8 tahun di pulau Batam dan termasuk salah satu saksi hidup dari berkembangnya segala pembangunan di pulau tersebut. Terkadang dia dipelesetkan sebagai Living Legend atau Frank Sinatra.

Lama masa kerjanya merupakan salah satu bukti bahwa ada ketidakwajaran yang terjadi di perusahaan tempat kami bekerja karena Opa Boy sudah terlalu lama ditempatkan di wilayah yang bukan wilayah tempatnya berasal. Apalagi penempatannya hanya di satu lokasi saja selama sewindu. Di kebanyakan perusahaan, karyawan akan ditempatkan di wilayah-wilayah tertentu selama 2-3 tahun. Setelah itu ada kejelasan atas penempatan selanjutnya. Nah, sirnanya kejelasan itulah yang menjadi problem untuk Opa Boy dan kami sebagai pendengar setianya mengiyakan.

Beban hidupnya untuk berhadapan dengan ketidakpastian setiap harinya membuat Opa Boy menjadi orang yang kadang terlihat kehilangan semangat hidup. Namun pandangan itu selalu berhasil ditepisnya dengan karakternya yang nyeleneh dan kocak. Dia bisa menghidupkan ruangan yang mulanya sunyi sepi menjadi hingar bingar karena lelucon-leluconnya walaupun seringkali nyerempet hal-hal khusus orang dewasa.

Terlepas dari tindak tanduknya yang terkesan slebor, menurutku dia termasuk orang yang memiliki cita-cita mulia. Dia ingin kembali ke Bandung, kota tempatnya berasal, untuk bisa menghabiskan hidup bersama istri tercintanya yang 11 tahun lebih muda. Cukuplah sudah perantauannya selama 8 tahun ini diarungi. Sudah terlalu banyak asam garam yang dia lalui. Bahkan anggapan ini mungkin telah melebihi kata pepatah "Cukup dengan asam garam kehidupan". Mungkin kehidupannya sudah terlalu asam atau asin. Bayangkan jika itu adalah makanan, kata 'terlalu' akan membuat kualitas rasanya jauh berkurang.

Dia sudah terlalu jenuh dengan rutinitas kantor yang monoton di Batam. Lengkap dengan segala intrik politik kantor yang seringkali membuat orang geleng-geleng kepala. Opa Boy ingin keluar dari lingkaran itu. Dia memiliki cita-cita untuk dapat menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Sebelumnya dia pernah membeli franchise merek dagang Mie Laos dan mendirikan sebuah resto kecil di salah satu jalan utama kota Bandung. Sangat disayangkan performa usahanya terlihat kurang berkembang di lokasi tersebut. Baru-baru ini dia mencuri waktu di sela kesibukan di Batam untuk merintis usaha restoran dengan spesialisasi menu bebek bersama istrinya di Bandung.

Kami sering bertukar pendapat mengenai jatuh bangunnya mendirikan usaha-usaha tersebut. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kehidupannya secara garis besar. Hanya saja kehidupannya belum sampai ke titik krusial dimana Opa Boy tiba di persimpangan dimana dia harus memilih. Bisnis atau karir. Mungkin mengambil keputusan untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut akan terasa lebih berat daripada 8 tahun penempatan di Batam. Apalagi sekarang dia sudah berumur lebih dari 40 tahun.

"Anak muda harus jantan man!", ujarnya setiap hari kepadaku.

Dia termasuk salah satu orang yang menyemangatiku agar lebih berani mengambil keputusan-keputusan penting untuk hidupku ke depan. Ini terkait dengan pilihanku untuk meninggalkan perusahaan ini karena keinginan untuk melanjutkan master studi ke luar negeri. Namun, bukan ini yang terpenting. Cerita utamanya adalah kesediaan seorang Opa Boy yang hampir setiap hari menyemangati junior-juniornya untuk lebih berani mengambil jalan hidup yang lebih baik. Dia tahu betul bahwa keraguan akan datang untuk menutupi jiwa yang sudah mantap akan pilihan hidup.

Dia menanamkan jiwa keberanian kepada mereka yang lebih muda karena dia ingin orang lain lebih baik dari kondisinya. Bagaimanapun juga, dia sudah melihat hal-hal yang belum bisa dilihat oleh orang-orang yang lebih muda darinya. Maka dari itu, dia begitu menekankan pentingnya sebuah keberanian dalam mengambil jalan hidup yang lebih baik. Menurutku sikap seperti ini sudah jarang kita temui karena kebanyakan orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

"Kalo ada yang mendukung lo untuk cabut sekolah, gw dukung 300%!," sahutnya.

Aku tidak akan pernah lupa kata-katanya. Opa Boy adalah salah satu dari dua orang yang pendapatnya paling kudengar selama aku bertugas di Batam. Dia merupakan salah satu dari orang-orang yang begitu menghargai perbedaan baik dari segi umur, suku, latar belakang pendidikan maupun jabatan. Bagaimanapun juga yang paling penting adalah kesetiaannya untuk menyediakan 2 telinga hanya untuk mendengarkan keluh kesah atau kebingungan yang dihadapi oleh junior-juniornya walaupun pembicaraan itu berlangsung berjam-jam.


*** *** ***

Kami bertemu di restoran Bebek Guludug di persimpangan jalan Ahmad Yani, Bandung. Opa Boy bersama istrinya menyambutku dan kami menghabiskan sisa-sisa sore ngobrol ngalor ngidul tentang mimpi masing-masing. Lima orang karyawannya hanya tersenyum simpul melihat Opa Boy dan sang istri tertawa riang bersama seorang pemuda remeh. Itu aku. Sudah hampir sebulan lamanya aku meninggalkan Batam ketika bertemu Opa di restonya.

Lantas aku bergumam dalam hati, "Yes Opa, you're now living your dream..."

Kamis, 03 Februari 2011

Akhirnya tiba saatnya aku harus meninggalkan medan perantauan setelah menghabiskan 2 tahun 5 bulan di Sumatera. Babak baru kehidupan akan dimulai seiring dengan langkahku meninggalkan Pulau Batam, sebagai tempat terlama aku menghabiskan masa kerjaku di wilayah Sumatera. Aku terus mengingat-ingat setiap detail kehidupanku disana, namun rasanya seperti terlalu banyak hal yang dapat dituliskan.


**** **** ****


Sebelumnya aku pernah menetap di beberapa lokasi kerja yang berbeda. Medan adalah kota pertama aku menginjakkan kaki di Sumatera. Tepatnya 1 September 2008, pesawat Garuda Boeing 737-400 yang kutumpangi mendarat di lapangan udara Polonia, Medan. Saat itu bertepatan dengan hari pertama bulan Ramadhan. Menghabiskan bulan-bulan pertama di tanah orang dalam keadaan berpuasa memberikan kesan yang mendalam di benakku. Sepertinya Tuhan ingin memberikan aku waktu khusus untuk introspeksi diri dalam keadaan yang hampir benar-benar sendiri. Jauh dari keluarga dan para sahabat.

Beberapa hari setelah Lebaran tiba, aku bertugas ke wilayah Pematang Siantar. Sebuah kota kecil yang jarak tempuhnya sekitar 3 jam dari kota Medan. Kota tersebut berlokasi dekat objek wisata kebanggaan Sumatera Utara, yaitu Danau Toba. Aku melalui beberapa kota kecil di perjalanan ke Siantar seperti Lubuk Pakam dan Tebing Tinggi. Udara Siantar dingin dan tampilannya terlihat seperti kota tua dengan bangunan-bangunan lamanya yang masih berdiri kokoh. Mirip dengan Medan, kota tersebut memiliki moda transportasi umum yang khas yaitu Betor (Becak Motor). Kendaraan ini sangat khas, motor yang memiliki tempat duduk khusus penumpang yang ditempelkan langsung ke sepeda motornya. Yang membedakan Betor Siantar dengan Medan adalah unit motornya yang menggunakan British Small Arm (BSA) alias motor lama pabrikan Inggris yang dulu digunakan sebagai kendaraan perang. Dari kejauhan, deru suaranya seperti Harley Davidson.

Buatku pribadi, Medan adalah kota yang ditunjuk Tuhan untukku berbenah diri. Kota introspeksi. Kota tanpa keluarga. Kota lahirnya sahabat-sahabat baru. Singkat kata, aku menghabiskan sekitar dua bulan di wilayah Sumatera Utara dan ngekos di kota terbesar ke-3 di Indonesia ini.



**** ***** *****


Kemudian Ramadhan telah satu bulan berlalu dan aku diberikan amanah untuk ditempatkan di salah satu pulau terluar di wilayah timur Pulau Sumatera. Sebuah pulau antah-berantah yang bernama Tanjung Balai Karimun yang belum pernah sekalipun aku mendengar namanya seumur hidup. Pulau tersebut ditempuh dengan menggunakan pesawat tujuan Medan - Batam. Setelah itu dilanjutkan dengan perjalanan darat ke arah pelabuhan Sekupang, Batam. Lalu dijangkau via laut dengan kapal ferry selama satu setengah jam langsung ke pulau tersebut. Singkat kata, udara darat dan laut.

Pulau tersebut sangat kecil. Jarak terpanjang dari ujung ke ujung hanya 18 kilometer. Tanjung Balai Karimun dikelilingi oleh puluhan pulau-pulau kecil. Sebut saja Pulau Buru, Pulau Kundur, Pulau Sugibawah, Pulau Durai, dll. Kehidupan di pulau itu begitu sederhana. Tidak banyak hal-hal mewah yang ada. Mobilitas mayoritas penduduknya adalah motor dan kapal. Berpindah dari satu pulau ke pulau lain dalam satu hari adalah hal yang lumrah.

Selama masa kerjaku, beberapa kali aku melakukan perjalanan dinas ke pulau-pulau terluar dan wilayah-wilayah terpencil. Di kepalaku terpatri nama-nama tempat yang kurasa tidak diketahui kebanyakan orang. Tanjung Batu, Moro, Sei Guntung, Urung, Sawang, Selat Beliah, Meral, Tebing dan tempat-tempat lainnya. Wilayah Moro pernah kutuliskan di salah satu tulisanku. Oko Moro judulnya.

Aku menghabiskan waktu sekitar lima bulan di Tanjung Balai Karimun dan selama masa tugasku aku bertemu dengan begitu banyak sosok-sosok sahabat yang terlalu banyak untuk kusebutkan. Bagiku, mereka adalah figur-figur survivor yang berhasil membangun pribadi yang lebih baik. Figur-figur yang lolos dari lubang kenyamanan dan akhirnya dapat bersahabat baik dengan kesederhanaan. Sosok-Sosok yang selalu berbesar hati untuk merelakan dirinya ditempatkan di salah satu pelosok Sumatera yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang.

Aku ingat betul seperti apa rasanya menjelajahi pulau-pulau terluar Indonesia. Hilir mudik antar pulau dengan menggunakan kapal-kapal penghubung. Memandangi pesona laut di sekitar Tanjung Balai Karimun yang tampak sedikit menguning akibat dari banyaknya kandungan lumpur kuning di dasarnya. Di pesisir-pesisir pantainya masih banyak rumah-rumah penduduk beratapkan pelepah-pelepah daun. Sepanjang perjalanan menggunakan kapal ferry dari pelabuhan Karimun ke pelabuhan Tanjung Batu, aku melewati puluhan pulau kecil dengan vegetasi mangrove yang tumbuh secara alami. Di beberapa pulau terlihat tambak kecil buatan nelayan setempat untuk membiakkan ikan laut. Terkadang kapal yang kutumpangi berpapasan dengan kapal lain dan para penumpangnya saling melambaikan tangan.

Singkat kata, aku menghabiskan waktu sekitar lima bulan di kepulauan ini, sebelum aku kembali ditugaskan ke lokasi lain. Aku mendapatkan pengalaman yang begitu berharga selama menjalani masa penugasan ini dan hidupku berlanjut untuk ditempatkan di kota utama propinsi Kepulauan Riau ini yaitu Batam.

..bersambung...




Rabu, 02 Februari 2011

Lukisan

Pada suatu pagi ada seorang tua yang sedang menorehkan kuasnya pada sehelai kanvas putih. Dia adalah pelukis kenamaan yang cukup dikenal karena karya-karyanya yang bealiran realis. Tidak pernah seumur-umur ia memamerkan hasil-hasil karyanya dengan alasan bahwa lukisan bukanlah kesempatan bagi publik untuk menyanjung seseorang. Begitulah idealisme yang dia pegang. Momen yang paling dia takutnya adalah ketika naik-turunnya harkat dan martabat hanya ditentukan oleh pendapat publik yang mengonsumsi keindahan karya-karyanya, seperti yang dia perhatikan terjadi pada para seniman lokal yang terkemuka. Beberapa tahun belakangan ini, pemburu seni tidak sengaja menemukan karya-karyanya yang dia simpan di salah satu gubuk tua, tempat anak-anak asuhnya bertempat tinggal.

Baginya, seni tak lebih dari obat bagi hati yang sudah terlalu lelah akan indahnya dunia. Lukisan pun menjadi caranya berbicara. Panjang janggutnya, tambun badannya, sedikit sekali tutur katanya dan alangkah ringan jari-jarinya menggoreskan kuas di atas kanvas. Dia tak pernah memakai topi seperti pelukis-pelukis pada umumnya dan sebatang rokok pun tak pernah sekalipun hinggap di bibirnya. Sudah bertahun-tahun dia menghabiskan waktunya untuk duduk di atas kursi pendek beralas kain perca dan belacu.

Cat merah, jingga dan kelabu ia baurkan sedikit demi sedikit. Dia menarik kuasnya dari ujung kiri atas ke kanan bawah kanvas dengan tegasnya. Itu adalah semburat warna langit yang menggelora karena saat itu seluruh manusia bersatu untuk memerangi tirani. Warna-warna kelam memperhalus sosok-sosok manusia di kanvas tersebut. Sosok-sosok yang berlari di jalan raya seakan-akan menerpa angin dan tidak pernah membelakangi nasib. Manusia yang tumpah ruah ke jalan-jalan, seumpama bulir-bulir padi yang dituangkan ke dalam wajan. Berserak dan bergerak. Lalu, dia mainkan kuas-kuas kecilnya yang membawa warna-warna solid black dan broken white, membentuk aura pengepungan sejumlah manusia dalam lingkaran manusia lainnya. Melukiskan tak akan ada lagi perlawanan setelah ini karena sebagian dari mereka akan menyerah dalam waktu dekat. Kemudian sang pelukis memercikkan ujung kuas kecilnya ke kanvas, cat-cat merah dan pale yellow yang tampak seperti rasi-rasi bintang diatas kepala manusia. Seperti melambangkan amarah yang telah membobol tiap-tiap kepala manusia yang mengepung sejumput manusia lainnya dan akan berakhir pada hilangnya tubuh mereka dari tanah tempat mereka berpijak. Langit yang dia lukiskan berwarna ungu violet dan dihiasi oleh awan kelabu yang berulis di beberapa tempat. Tampaknya hujan –yang sering diartikan sebagai berkah dari Tuhan- tidak akan pernah lagi turun membasahi tanah tersebut. Jalan-jalannya berbongkah-bongkah tak terurus dan berkerak seperti baru saja dihantam gempa bumi. Langkah-langkah manusia yang mengepung sepertinya terlalu kuat bagi jalan tersebut. Tapak-tapak yang berat dan sangat berdaya.

Wajah sang pelukis merah padam saat berhenti sejenak dari menarikan kuasnya. Dia mengambil beberapa nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Kemudian dia menatap kilauan cahaya yang menerobos sela-sela daun pohon Angsana di muka terasnya. Dia ingin mengabadikan peristiwa itu dalam bentuk lain. Ia mencungkil acrylic kuning dan putih terang dengan pangkal kuas yang berbentuk seperti ujung sumpit. Mengkerucut dan terlihat seperti mata pensil dari jauh. Ia menggoreskan kilatan-kilatan cahaya dari awan-awan kelabunya. Dari jauh akan terlihat seperti jarum-jarum diantara tumpukan debu yang terkena sinar dan berkilauan. Cahaya-cahaya dari langit adalah awal mula diturunkannya kemenangan atas suatu kaum. Tenaga bagi mereka yang pernah hilang kekuatannya dan pencerahan bagi mereka yang hatinya pernah dikungkung rasa takut yang luar biasa. Sang pelukis seakan-akan adalah bagian dari mereka yang berlarian mengepung kaum-kaum yang semestinya disisihkan. Tidak ada rona-rona kekalahan dari apa yang dilukiskannya baik bagi sekelompok manusia yang dikepung, maupun mereka yang siap menghabisi. Tidak jelas mana korban dan mana pemangsa. Seperti pertarungan antara garangan dan ular kobra. Yang menang akan menjadi pemangsa, sedangkan yang kalah adalah korban. Itulah visualisasi yang diharapkan oleh sang pelukis. Tidak ada satu pun senjata yang dilukiskan oleh kuasnya. Itu adalah pengepungan tanpa senjata sehingga tidak ada warna-warna merah darah yang dilukiskan. Dia membenci peperangan yang berdarah-darah, yang kemenangan berarti harus menghabisi segala yang ada. Atau mengurangi jumlah oposan sehingga pertempuran dapat dimenangkan akibat salah satu pihak kalah jumlah.

Jika diperhatikan, maka akan terbaca pesan-pesan yang akan disampaikan oleh sang pelukis. Dari goresan kuasnya akan terlihat sangat kontras, sebab seorang yang sangat halus perangainya sedang menggambarkan perseteruan. Padahal dia sendiri tidak pernah mendukung perselisihan dalam bentuk apapun. Namun jika berkata soal keadilan, maka pelukis tersebut adalah orang yang paling lantang berbicara. Walaupun sebagian besar kata-katanya dituangkan diatas kanvas.

*** **** ***

Hidup tak selamanya adil dan menyenangkan. Apalah artinya sebuah lukisan jika tidak pernah ada seorangpun yang menikmatinya. Maka tidak akan ada yang berkata indah atau buruk. Begitu juga dengan realita dimana banyak kejadian yang sangat menyalahi nilai-nilai untuk saling melindungi dan tergantikan oleh buasnya penindasan-penindasan di muka bumi. Apalah artinya peristiwa jika tak ada seorang pun yang berniat untuk mengubahnya. Itulah sifat-sifat linear dari ketamakan manusia. Penindasan tidak akan pernah berhenti jika benteng pelindung tidak pernah didirikan. Mereka yang terlanjur berfoya-berfoya menindas kaum yang lain akan seyogyanya merasakan apa yang mereka lalukan. Seperti kaidah hukum kausalitas yang paling sederhana, ada sebab ada akibat, ada akibat maka akan teciptalah sebab-sebab yang lain dan bernilai ganda atau dua kali lebih kuat sebabnya dibanding sebelumnya. Rumit memang dan sangat tidak logis. Tetapi itulah yang digambarkan oleh sang pelukis.

Dia tiba-tiba memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Surealis, kata orang. Ibarat musik, dia akan berubah dari pianis klasik, menjadi pianis yang bernada-nada minor dan terkesan menghantui semua pendengarnya. Nada-nadanya terdengar sumbang namun harmonis jika dijadikan sebuah lagu. Sekarang ia melukiskan tangan-tangan yang berjatuhan dari langit seperti hujan. Hujan telapak tangan terikat tali-tali yang ujungnya berada di balik langit. Telapak-telapak tangan yang halus permukaannya. Tidak jelas siapa yang menjulurkan. Apakah itu tangan yang diturunkan oleh malaikat-malaikat utusan Tuhan atau memang orang-orang yang lebih dulu meninggalkan dan ingin membantu mereka yang mengepung kaum yang lain, tidak ada yang dapat mengerti.

Sebuah kejanggalan akan terlihat dari kaum yang terkepung. Mereka yang berada di dalam lingkaran dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Di tangan-tangan mereka akan terlihat kepala-kepala yang pernah mereka penggal dahulu kala. Sebagian telah menjadi tengkorak dimakan usia dan sebagian seperti masih segar berteteskan darah. Beberapa diantara mereka terlihat membawa kain-kain hitam yang menutupi kepala-kepala tersebut. Seperti menyembunyikan kekejaman yang mengisi masa lalu kaum tersebut sebelum dilakukan pengepungan. Pelukis tersebut menggoreskan kuasnya seakan-akan menggambarkan gunung yang runtuh berbongkah-bongkah. Diatas gunung tersebut dilukiskannya warna langit yang terang benderang diantara kelabunya awan-awan. Kontras. Seperti halnya saat kita melihat purnama di langit malam yang kelam. Sebuah bendera bergaris pinggir heksagonal dan berbintang biru terlihat compang-camping dan melayang dari puncak gunung tersebut. Bendera yang didasari warna putih raksasa itu jatuh melambai-lambai. Bagian kanan bawahnya telah habis terbakar dan api masih akan merambah hingga menghabiskan seluruh bagiannya sehingga bendera tersebut tidak akan pernah dikibarkan lagi di waktu-waktu kedepan.

Mereka terkepung oleh sejumlah manusia yang lebih besar karena mereka pernah menggunakan nama Tuhan untuk menghabisi ras-ras lain. Sang pelukis menorehkan beragam warna kulit diantara kaum-kaum yang berlari mengepung. Putih pucat, hitam legam, coklat sawo, putih kemerah-merahan, coklat tua berbinar-binar dan seluruhnya beragam. Seperti segala perwakilan bangsa seluruh penjuru dunia bersatu padu memerangi kemuslihatan. Mereka sudah muak dengan manipulasi-manipulasi yang memenggal hak-hak bangsa lain. Ketika sang pelukis mengoleskan kuasnya pada kanvas, dia berkata pelan “…Magna Charta”. Kemudian dia melukiskan sekelompok besar burung yang tidak bersayap namun tetap terbang bertiupkan angin. Wingless and as free as a wind. Burung-burung tersebut adalah representasi kaum pilihan yang ditakdirkan untuk bebas walaupun tidak memiliki kemampuan dasar untuk terbang, seperti yang tertulis dalam Magna Charta, kebebasan adalah hak setiap bangsa. Sudah semestinya takdir harus diubah karena tidak sepenuhnya takdir menjadi sesuatu yang statis. Manusia mempunyai kodrat untuk mengubah takdir, seperti nomenklatur yang telah tertera di salah satu surat di kitab suci umat Islam Al Qur’anul Karim. Pengubahan takdir itu sendiri adalah takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Sang pelukis pun sangat mengerti apa itu takdir dan dia sangat meyakini takdir.

Sang pelukis mengambil kuas terakhir yang masih bersih belum terkena satu pun cat. Setelah itu dia mengambil setuba cat putih. Akhirnya dia meletakkan kuasnya pada secanggkir penuh air, sehingga cat putih tersebut memendar terlarut air. Sepertinya dia baru saja menyudahi lukisannya. Adzan pun bersahut-sahutan di udara tanda bahwa waktu Zuhur telah tiba. Sang pelukis meninggalkan kanvas beserta kuasnya di teras dan bergegas untuk mengambil wudhu untuk shalat. Dia baru saja menggoreskan sesuatu bertuliskan huruf sambung yang terbaca; Hail Palestine, Peace for Palestine.

Kingdom of Heaven

15 Januari 2009. Mereka adalah anjing-anjing yang memburu. Pemburu di saat matahari begitu terik membakar bumi. Sepanas batu-batu yang melepuhkan telapak kaki. Seganas partikel-partikel fosfor putih dari bom-bom yang melunakkan belulang. Mendingin seperti mayat-mayat yang mati beku di tengah malam Palestina dikungkung amarah para serdadu Israel. Why on earth, there should be such cruelty like we ever witnessed in Palestine? Inilah yang pernah disabdakan oleh Muhammad SAW pada salah satu hadits beliau: "...akan terjadi pembunuhan, pembunuhan...". Seluruh penduduk bumi menjadi saksi sejarah atas holocaust yang sesungguhnya di Gaza.

Saat inilah logika manusia normal dipermainkan. Pemerintah dari bangsa yang berteriak paling lantang tentang demokrasi dan penegakkan hak asasi manusia bertindak seperti bangsa primitif yang seakan-akan ditelanjangi ribuan tangan. Sebaliknya, bangsa yang kemungkinan besar tidak pernah mencatat suatu dosa pun di peradaban modern harus mengalami tragedi-tragedi yang destruktif. Penderitaan tanpa batas yang mendera golongan manusia bumi Palestina.


Inilah potret dari jatuhnya moral suatu bangsa. Israel yang diklaim sebagai salah ras berperadaban paling maju, ternyata menampakan sisi lain yang paling biadab. Membombardir jantung empati manusia-manusia di Gaza dengan bom-bomnya yang meledak di sisi-sisi jalan, tank-tanknya yang menggilas anak-anak hingga tubuhnya hancur berantakan, peluru-peluru senapan mesin yang ditembakkan menembus tubuh para warga sipil yang berguguran di jalan-jalan berserakan dan trauma perang yang harus dihadapi oleh anak-anak korban.

Mereka akan menjadi seperti debu-debu yang beterbangan. Setiap nyawa yang tercabut akan menyisakan seribu dendam dari para pejuang yang suatu hari nanti akan berbalik menyerbu mereka. Menyerbu tiap-tiap serdadu Israel yang menembakkan roket-roket penghancur, memunahkan para tentara Israel yang menghabisi manusia dengan melepaskan puluhan peluru ke satu badan warga sipil, meledakkan kepala para komandan kesatuan militer Israel yang memerintahkan untuk menerbangkan bom-bom yang berjatuhan, membakar Ehud Olmert hingga mendidih kepalanya.

Aku rasa semua dapat melihat siapa pantas mendapat predikat pahlawan yang sesungguhnya. Bukan mereka dari pasukan artileri Israel yang berlaga seperti hero-hero yang melindungi tanah tuannya, bukan seperti pasukan-pasukan yang berdansa menghindari rentetan peluru yang ditembakkan ke arah mereka, bukan juga dari mereka yang duduk melingkar di atas kursi perundingan membahas gencatan senjata atas nama bangsa-bangsa. Tetapi sebenar-benarnya pahlawan adalah para ibu yang masih memeluk anak-anak mereka walaupun bersimbah darah di kepala, para ayah yang senantiasa bercanda menghibur anak-anak di tengah jalur-jalur peluru dan letupan bom di udara, para petugas medis yang rela bertaruh nyawa demi kelanjutan satu nyawa yang belum tentu dipanjangkan oleh Tuhan, dan para pemuda yang menangis sedu sedan sembari mengangkat jenazah saudaranya dari reruntuhan bangunan.

Akan tiba suatu hari nanti, bengisnya para agresor Israel akan dibalas dengan azab Tuhan yang pedihnya tidak terkira. Tubuh-tubuh mereka akan tampak seperti daun-daun yang berguguran, setelah itu dibakar sepenuhnya oleh api-api yang ditujukan pada mereka. Kingdom of Heaven. Biarkan Tuhan menjalankan keadilan-Nya suatu saat nanti, biarkan Tuhan merubah apa yang ingin Dia ubah dan melindungi apa yang ingin Dia lindungi. Kami manusia hanya bisa memerangi tirani. Dan kembali tersenyum lagi suatu hari nanti karena apa yang telah Tuhan bahasakan adalah benar.

Golden Apple

Once upon a time you see a beautiful golden apple in the top of a hill. You know how to get it, you know which track should you choose, you know the good timing, you know where the wind blows, you've studied the hill's topography, you know how to beat the other apple-getters, you know where to step, walk and run, you can read the circumstances. But when the apple is only just a centimeter from your palm, a bird strikes it on your face. Then finally you lose yourself.

But most people seems frustrated by looking backward of what they've struggled for. Most people do really hate to fail. They shed tears. They burn something down. They do everything they want until they find a moment to ease their pain. And rethinking about what should be done and not. They couldn't stop thinking; strategically and technically. Questioning and testing their mind to solve the case.

In the other perspective, have you thought about the way how God saved your life? Or you are still blaming others just because your apple was stolen. Because you know what? The bird died after eating the apple. It's poisonous. You saw the bird rotting nearby the gold apple. Thus you still feel strange. Did you really fail? Did you feel inferior anymore?

It was God who reminds you through an apple that you were always being watched. God knows everything for what's best or worst. God will never let us be lost in the middle of our struggle. When we question, God will always answer. Right at the time when the bird stole your apple, that is the thing called Destiny. It is God's hand. There is just something we cannot change.

Think. Believe.

Cerita Seorang Pekerja Kesepian

Jumat, 12 Maret 2010, pukul 22.45 WIB. Kurasa aku berangsur-angsur berevolusi menjadi zombie. Tubuhku kuyu kerontang, seperti jagung yang bonggolnya habis dirampas wereng-wereng yang bergerilya. Mataku mencekung dan terlihat berkantung. Jalanku sempoyongan dan terasa seperti gravitasi semakin menarik magnet-magnet di tubuhku. Di dalam gelapnya ruang kerjaku, hanya terdengar suara klik-klak dari jari-jariku yang tak pernah bisa berhenti mengetik. Aku tidak peduli lagi akan waktu dan aku kehabisan kata-kata untuk dituturkan kepada siapapun. Aku sadar bahwa ritme hidup normalku mulai melepaskan diri dari pemiliknya. Di komputerku mengalun hide and seek, Imogene Heap. Di kegelapan aku duduk termangu dan ribuan angka dan grafik beterbangan di kepalaku. Ruangan ini terlalu sunyi untuk membangkitkan adrenalinku. Terlalu kelabu bagi seorang pekerja larut.


*** ooo ***


Aku masih bertempur dengan kekosongan batin. Pandanganku nanar dan bibirku yang memucat sedikit ternoda dengan bercak-bercak kopi hitam yang seharian kuteguk. Layar komputer berubah menjadi biru dan berangsur-angsur memudar. Aku seakan-akan melihat diriku sendiri duduk di meja kerjaku, dengan kepala yang telah lunglai bersandar pada punggung kursi.

Lalu aku terbang jauh ke suatu tempat. Melesat disela-sela kumuhnya pemukiman Bantar Gebang, menerobos kepungan ribuan motor yang berderu di jalan raya Cawang, mendengar sumbangnya suara para pengamen di pertigaan Hayam Wuruk, menapaki satu persatu marka jalan di Pondok Indah, dan memperhatikan kerlip lampu kota dan gedung-gedung tinggi Sudirman. Begitu cepat dan bergejolak. Aku melihat Jakarta.

Di ujung Pasar Jembatan Merah di Casablanca, seorang Ibu menggendong putrinya yang menangis karena seharian terjemur teriknya kota. Di tepian Situgintung sekumpulan anak berkecipak di bekas-bekas tanggul yang telah roboh. Mereka berlarian dan berkejaran. Jauh di ketinggian lantai 35 gedung perkantoran Thamrin, seorang profesional muda luluh lantak dimaki habis oleh atasannya –hanya karena salah mengambil keputusan yang merugikan perusahaan Rp 1.2 miliar. Aku berpindah ke pelataran Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, ratusan pasien berteduh dibawah aula RS demi antrian pembayaran obat yang loketnya masih tutup di pukul 13.30 siang. Seorang apoteker senior sedang mengatur subordinatnya menyusun rincian obat untuk didistribusikan kepada bagian inventory. Esok hari sebanyak 12 pasien akan menjalani operasi. Lantas aku melesat jauh meninggalkan kota dan tiba di keramaian bandar udara. Calo-calo berdesakan menawarkan tiket murah bagi seorang calon penumpang yang mengejar jadwal pesawat ke Makassar –istrinya sedang dirundung duka sepeninggal ayahnya yang mati kemarin sore.

Aku masih bergumul dengan kehampaan relung-relung jiwa. Seakan-akan hidup adalah tabung kedap udara dan aku terjebak di dalamnya menyaksikan segala kehidupan bergerak secepat udara.

Seorang kernet memanggil-manggil penumpang di antara jalan raya Kampung Melayu-Pondok Bambu, beberapa detik kemudian dia terjatuh dan dihantam motor dari samping. Tanah-tanah gersang di pemakaman umum Casablanca terlihat sedikit menghijau setelah direnovasi oleh Pemkot, dinding-dindingnya coklat terang setelah di cat, tidak sekusam dulu. Beberapa keluarga mengelilingi makam seorang tokoh masyarakat yang baru saja wafat karena kanker paru-paru, mereka semua mengenakan pakaian hitam. Salah seorang perempuan tersedu-sedu hingga tak sadarkan diri. Kukira ia adalah puterinya.

Tampak warung-warung makan pinggir jalan Barito sedang diruntuhkan oleh Satpol PP. Mungkin ada sekitar 20 bangunan liar dengan puluhan pekerjanya terhenyak melihat lumbung rejekinya dibongkar habis. Beberapa diantaranya bertolak pinggang dengan sejuta mimik kecewa yang berubah-ubah. Lalu secara tiba-tiba matahari kembali ke peraduannya dan terbitlah malam diatas Jakarta. Aku melihat bayangku menghilang dalam sepersekian detik dan matahari tadi seperti bohlam yang dimatikan oleh pemiliknya. Jutaan lampu kuning-merah berhamburan di tol dalam kota. Mereka bergerak dengan dua arah yang berlawanan. Di beberapa cabang jalan terlihat antrian mobil. Dengan raut wajah seperti serigala beringas yang sudah tidak makan seminggu.

Aku jalan terus ke pelosok Jakarta. Kadang aku melayang-layang diatas kerlipan lampu kotanya, kemudian jatuh ke kolong jembatan tergelap di Gunung Sahari. Sekelilingku memerah ketika kusadari aku berada di dalam gelas wine dan aku mengintip dari sela-sela jarinya yang memegang gelas tersebut. Puluhan lampu sorot nyala-padam dan sejumlah komunitas socialite menjulur-julurkan tangannya ke udara, digoyang dentuman soundsystem yang tiada berhenti berteriak semalaman. Aku berada di Embassy. Aku tidak suka ruangan itu.

Lantas hening jatuh di tengah ruangan. Hening. Sunyi. Aku tiada mendengar sedenting pun suara musik. Sekelilingku putih pasi. Kutolehkan kepalaku dan kupasang telingaku baik-baik. Tetap sunyi. Aku tiada berhenti bertanya-tanya hingga kudengar degupan lembut dari detak jantung seseorang. Detaknya tidak beraturan. Kadang cepat kadang lambat. Situasinya tidak terjelaskan. Lambat laun tubuhku seperti melayang ke udara dan aku keluar dari ulu hati seorang kakek yang sedang tidur di atas sebuah peti kayu tepat di depan sebuah WC umum. Ruangan WC tersebut begitu tertutup dan dikelilingi oleh lorong-lorong panjang yang berbilik-bilik tidak beraturan. Udara disini luar biasa panasnya. Pengap dan kulit terasa berkerak. Aku terus berjalan menelusuri lorong-lorong gelap itu dan tiba di hadapan balkon yang menghadap ke jalan raya. Cahaya memendar seketika. Ternyata aku berada di salah satu pusat perbelanjaan barang bekas yang sedang tutup di Kota. Kendaraan tampak berlalu-lalang dengan seorang polantas yang sedang memberhentikan bus karena puluhan siswa SMU bertumpukan menggelayut di pintu depan dan belakang.

Aku tidak mengerti. Apakah aku sudah mati? Mengapa aku dapat berpindah pada ruang dan waktu yang berbeda dalam sekejap. Apakah aku telah menghantu? Bergentayangan dan penasaran mengitari kota Jakarta yang sedemikian luas dan buas. Aku melintas dari cahaya ke cahaya, detik ke detik, ruang ke ruang. Namun Aku tidak melihat seorang dari mereka, yang tersayang. Kemanakah aku harus mencari? Aku ingin kembali pulang dan berpelukan dengan mereka yang kusebut keluarga, sahabat atau malah dia yang telah pergi beberapa bulan silam. Tetapi tubuhku ibarat diperintahkan oleh udara untuk bergerak dengan sendirinya. Mungkin inilah yang dinamakan tubuh halus. Zat yang tidak dapat menentang apapun. Perilakunya hanya bergerak diperintahkan oleh akal yang tidak jelas sedang berapa dimana. Rasanya seperti kelu beku. Aku masih dapat berfikir dan bertanya, namun kehilangan kemampuan untuk mengendalikan segala yang kupunya kecuali rasa. Seluruh peristiwanya masih dapat kurasakan. Aku tidak mengerti.


*** ooo ***


Aku melihat kertas putih bersama pena yang tintanya sudah berleleran kemana-mana. Pandanganku masih buram. Kuangkat kepalaku dari meja kerja yang sudah tiada lagi berada di sandaran kursi. Kuraba pipi kananku yang mati rasa, seperti dibius rasanya. Suara bising lembut komputer mengiang. Aku melihat segalanya lagi. Kalender bertuliskan jadwal meeting, cangkir kopi yang biasa ditaruh di sudut kanan meja, telepon yang biasanya berdering tiada henti, pemantik, rak-rak dokumen dan tempelan kertas yang bertuliskan lirik Home, Michael Buble seluruhnya masih bergeletakan di mejaku. Aku masih di ruangan kerjaku. Jarum jam menunjuk 05.10 WIB. Aku bingung, kemana muadzin yang bisa melantunkan adzan? Sudah pergikah ia? Kalender menunjuk hari Sabtu. Semestinya tidak akan ada seorang pun yang berjaga di kantor sedini ini. Lantas aku berdiri, kuambil tas selempangku dan kubenahi beberapa bagian kemejaku yang lecek. Sewaktu aku membenahi kantongku, aku menemukan secarik kertas lusuh yang menguning karena kelamaan tertiupkan asap rokok. Kubuka setiap lipatan kertas dan terbaca beberapa bait tulisan.


Seperti pepohonan yang diterpa angin semalaman
dan koyaknya daun-daun yang tiada lagi bertuan
Menggeruskan tubuh yang kelu beku
Hanya beberapa waktu saja, berhenti riam-riam nadi

Dulu bingar pernah mampir kemari
Membawa teman atas nama cinta dan asa
Melepuhkan noda-noda masa lalu, derita lalu
seperti hujan yang menghapuskan jejak-jejak langkah, malam itu

Setelah dilontarkan janji-janji,
yang membuat malam menerbitkan hari
Hidup menjadi sebenar-benarnya arti
Dan cahaya tak lagi berani untuk melari

Nada-nada ditinggalkan
Kursi-kursi kosong sudah
Dia. Menghilang dipelataran kata-kata, janji-janji
Kepercayaan. Tiada lagi


Aku sudah tidak pernah lagi menulis dalam jangka waktu 6 bulan terakhir. Siapakah yang menuliskan bait-bait ini? Begitu lama kuperhatikan huruf per huruf, kata per kata, aku tak mengerti. This is totally nonsense. Beberapa bayangan tentang mereka-yang pernah menghidupkan masa lalu- mampir ke otakku. Sekelebat-sekelebat, berseliweran. Seperti aliran listrik sedang bergejolak di kepalaku, membentur-bentur tempurung kepala karena ingin keluar. Rasanya ingin menuliskah seluruh yang kurasakan pada secarik kertas. Tapi aku tak peduli. Aku bergegas meninggalkan bangunan ini. Aku ingin terbang melihat langit Jakarta sekali lagi. Selamat tinggal.

Sepatu

Seperti menjadi orang yang terasing rasanya tatkala dia berlari menentang angin sore itu. Ia berpacu dengan ruas-ruas rel yang mungkin sudah berusia puluhan tahun. Langkah-langkahnya semakin panjang dan cepat saat ia semakin jauh berlari meninggalkan stasiun perhentian kereta. Senja mulai menapaki bumi ketika langkahnya menggetarkan bongkah-bongkah bebatuan kerikil rel dan senyum lebar terlukis di wajahnya.


*** *** ***

Empat jam telah berlalu setelah ia dinobatkan sebagai buruh terbaik di pabrik sepatu tempatnya bekerja. Disaksikan oleh ratusan karyawan-karyawati pada apel siang, pemilik pabrik memanggil namanya berkali-kali bahwa apresiasi pegawai teladan jatuh pada dirinya. Ia pun tidak bergeming dari tempatnya berdiri saat itu. Suara pemilik pabrik menggema di mikrofon sejelas sendok yang jatuh di tengah ruangan kosong, tetapi ia belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ia langsung tersadarkan setelah beberapa buruh lainnya menepuk-nepuk bahunya untuk menyadarkan bahwa memang dirinya yang dimaksudnya oleh orang yang berbicara di mikrofon. Terlihat peluh bercucuran dari keningnya yang mengindikasikan perasaan gugup. Kali ini bukan berpeluh lantaran lelah memisahkan dan memeriksa sepatu-sepatu layak jual, namun karena tidak percaya mengapa dirinya yang terpilih menjadi buruh teladan. Jangankan menerima hadiah uang tunai Rp 5.000.000,-, terpilih pun aneh sekali rasanya. Ia pun berjalan maju seperti murid SD yang akan disetrap oleh gurunya. Langkahnya pelan dan kecil. Ia menyembul keluar dari kerumunan buruh pabrik yang sebagian dari mereka adalah perempuan. Tubuhnya kurus dan kalau berjalan seperti tidak menapak tanah.

Ia pun tiba di depan mimbar dengan mimik muka enggan. Pemilik pabrik seperti menyadari keengganannya hingga kemudian ia pun bergegas turun mimbar dan langsung menyerahkan plakat penghargaan kecil bertuliskan namanya kemudian menyalaminya cukup lama. Tampak dari pria tambun berbadan besar itu air muka yang hangat ketika memandang sang buruh teladan. Kemudian terjadilah sebuah pembicaraan singkat. Pemilik pabrik berujar, “Keikhlasan saudara terlihat dari cara saudara bekerja setiap harinya. Tolong dipertahankan dan ditingkatkan!”

Sang buruh masih belum mengerti mengapa dirinya yang mendapatkan kehormatan itu. Lantas ia pun bertanya, “Mengapa saya yang menerima penghargaan ini Pak? Saya merasa tidak pantas. Yang saya kerjakan persis sama dengan apa yang rekan-rekan lain lakukan setiap harinya.

Dijawablah oleh sang pemilik pabrik, “Saudara memeriksa lebih dari seribu pasang sepatu setiap harinya dan petugas kami belum pernah sekalipun menemukan sepatu cacat yang lolos dari tangan saudara. Dari 3.423 buruh yang ada di pabrik ini, petugas menemukan rata-rata 32 dari 1.000 pasang sepatu yang masih cacat dari setiap buruh selagi siap ekspor.”

Sang buruh kembali terdiam. Terbersit di benaknya bahwa bukankah memang menjaga kualitas produk adalah tugas masing-masing orang. Ia masih heran mengapa 3.000 buruh dapat meloloskan lebih dari 30 pasang sepatu cacat. Ia kembali heran mengenai apa yang telah dilakukannya.

Saya memperhatikan saudara pulang beberapa jam lebih larut dari buruh-buruh lainnya hanya untuk memeriksa sepatu-sepatu tersebut. Bagi saya, itulah pembuktian kinerja saudara untuk pabrik ini. Bayangkan ada hampir seratus ribu sepatu cacat yang lolos dari second quality control setiap harinya. Sehingga pabrik ini harus menambah pengeluaran sumber daya manusia untuk double checking senilai lebih dari memproduksi setengah dari jumlah sepatu-sepatu cacat tersebut. Tapi itu tidak terjadi pada saudara. Itulah mengapa saya rasa saudara berhak atas penghargaan ini.

Mendengar kata-katanya, sang buruh kembali terdiam. Memang sulit untuk memeriksa kualitas ribuan sepatu setiap harinya, namun itulah yang ia lakukan sehingga dirinya harus pulang begitu larut. Ia teringat betapa luar biasa melelahkan untuk menunduk dan berdiri untuk mengambil sepatu dari conveyor belt pabrik tersebut dengan mata yang selalu awas memeriksa setiap bagian sepatu agar tidak cacat. Pemeriksaan mencakup dari tali, sol dalam, sol luar, jahitan, pemasangan merek, kerutan pada sepatu, elastisitas, dan juga ukuran. Terkadang ia tiba dirumah dalam keadaan letih luar biasa sehingga menemani istrinya pun kadang tidak sempat. Hingga keesokan harinya ia harus puas dengan senyum pahit istrinya yang melihat suaminya berangkat ke pabrik membanting tulang seharian hingga larut malam lagi. Ia pun berharap dalam hati bahwa suatu saat istri tercintanya akan memahami arti dari peluh yang ia peras selama ini.


Terima kasih banyak Pak atas rezeki Tuhan ini...”, ucapnya penuh syukur dan pemilik pabrik hanya tersenyum saja.


Sang buruh berjalan kembali ke barisannya dan ia teringat satu hal mengenai pesan ayahnya ketika ia berada di kampung halamannya di Blora. Dahulu ia membantu almarhum ayahnya untuk mengelola kebun nilam sebagai petugas suruhan salah satu pemilik tanah disana. Tugasnya adalah membantu ayahnya memelihara dedaunan nilam sebelum dipetik dan disuling. Ia bertindak bukan sebagai petugas, melainkan sebagai sukarelawan atas perintah sang ayah. Ayahnya adalah orang yang paling keras bicaranya tentang bagaimana cara merawat nilam. Nilam adalah salah satu tumbuhan yang paling sensitif terhadap perubahan lingkungan. Untuk menghasilkan nilam yang berkualitas tinggi ada beberapa hal yang harus dijaga. Dedaunan nilam haruslah dipangkas rapi dari tunas-tunas yang membuat cabangnya terlalu banyak untuk menghasilkan daun yang berkandungan minyak tinggi. Nilam harus dijaga dari hama ulat yang memakan daun-daun sehingga hanya menyisakan ranting-rantingnya saja. Ketika musim kemarau, dedaunan nilam harus disemprot satu persatu secara sangat hati-hati untuk menjaga kelembabannya dan di musim penghujan pengairannya harus dijaga sedemikian rupa agar kandungan minyaknya tidak terlalu melewati ambang batas sehingga mematikan tumbuhan tersebut.

Ia ingat betul akan apa yang ayahnya berikan kala itu. Berkali-kali ia merasa kesal setengah mati karena merasa melakukan pekerjaan yang tidak berhubungan sama sekali dengan minatnya. Bahkan ia merasa disia-siakan oleh ayahnya. Seakan-akan ayahnya menggunakan otoritas orang tuanya untuk mengeksploitir anaknya sebagai tenaga kerja. Apalagi saat itu umurnya baru 11 tahun. Sangat belia untuk seorang bocah dipekerjakan sebagai pemeriksa nilam. Ayahnya sering mengancam resiko pemecatan dirinya jika nilam-nilamnya dipetik dengan kualitas buruk.

Tanpa disangka-sangka pekerjaan itu melahirkan sisi jiwanya menjadi sosok yang peduli akan hal detail. Telah 16 tahun berlalu hingga ia berdiri di lapangan apel di depan pabrik dengan predikat buruh terbaik. Ia seakan-akan melihat almarhum ayahnya berjalan di belakangnya sambil tersenyum. Ia rindu setengah mati dengan ayahnya yang wafat 7 tahun silam.


*** *** ***


Bulir-bulir kapas yang jatuh dari deretan pepohonan beterbangan di hadapannya. Beberapa ekor burung perenjak lincah beterbangan atasnya, berkicau seperti anak-anak desa yang bermain kejar-kejaran. Terlihat surya yang sudah setinggi kepala orang dewasa berkilau jingga begitu megahnya. Dari kejauhan ia seperti seorang yang mengejar matahari. Langkah larinya yang semakin cepat kemudian disusul oleh gerbong-gerbong kereta yang lewat di samping kanannya dengan gemuruh-bising seperti datangnya gempa. Ia tidak peduli. Rumahnya tidak jauh lagi dari stasiun perhentian.

Tak lama kemudian hari sudah mulai gelap ketika ia tiba di hadapan pintu rumahnya. Ia mengatur nafasnya dan mengetuk pintunya dengan halus. Beberapa lama berselang terlihat seorang perempuan muda yang membuka pintunya. Mereka berdiri berhadapan cukup lama hingga sang perempuan mengernyitkan dahinya karena kedatangan sang buruh yang relatif awal hari itu. Dikecupnya kening perempuan itu. Lalu ia memegang tangan perempuan itu dan dituntunnya ia meninggalkan rumah. Mereka berjalan menjauh menuju tepian Sungai Brantas.

Sang perempuan bertanya, “Kita mau kemana?” Lalu sang buruh berucap, “Saya ingin membawa kamu makan malam...

Tampak dari kejauhan bayangan kedua pasangan bergandengan tangan yang semakin memanjang. Mereka seperti berjalan ditengah lingkaran matahari yang perlahan-lahan tenggelam di ufuk sana. Perempuan itu hanya menatapi wajah suaminya yang terus memandang kedepan sembari tersenyum mengingat ayahnya. Tidak peduli ada ribuan sepatu yang harus kembali diurusnya esok hari.