Minggu, 21 Desember 2008

Dia yang Kupanggil Birania

Aku terdiam sejuta kata ketika berdiri di hadapannya. Aku tidak mengerti kehidupan macam apa yang sedang kulalui saat itu. Segala kebahagiaan tampak mengabur sudah dan yang terasa hanya kepedihan, seperti terhapusnya memori-memori seorang yang menderita pasca-trauma perang. Atau seperti secarik kertas warna-warni yang tiba-tiba ketumpahan air hitam bertuba sehingga kotor bukan main dan tersobek-sobek. Berkedip pun rasanya berat dan airmata hilang terbang entah kemana saat kulihat seorang gadis terbaring tidak berdaya di atas branker. Nafasnya tidak beraturan. Terkadang memburu dan setelah itu tidak terlihat bernafas selama beberapa detik. Uap-uap air mengembun dan kembali hilang di pucuk oxygent mask yang melingkar di wajahnya. Jari-jarinya membiru beku, bibirnya menganga dan rambutnya yang indah tampak berantakan di atas bantal putih bersih. Sesaat kulihat ia seperti seorang yang kehilangan diri, terbaring layu dan tidak berdaya. Seakan-akan waktu pun berhenti dan segala yang ada turut memperhatikannya. Electro cardio graph pun tampaknya enggan bersuara seperti menandakan denyut jantung pasien normal, sedangkan yang ada hanya grafik hijau muda yang hampir seperti garis lurus horisontal. Aku betul-betul ingat sekujur tubuhnya dan aku masih merasa kuat. Keyakinan adalah benteng pelindung bagi hati yang hancur luluh dan ketegaran adalah bongkah-bongkah batu penyusunnya. Namun begitu kutatap wajahnya sekali lagi, aku melihat kedua mata yang sedikit membuka karena tidak terpejam dengan sempurna. Bola matanya sudah melihat tidak beraturan. Tidak sinkron. Sebelah kiri melihat ke bawah dan sebelah kanan agaknya melihat ke tengah. Saat itulah segala daya dan tenaga kutumpahkan saja di lantai. Kuyu dan kurasa itulah salah satu titik terendah dari kekuatan mental yang pernah kurasakan. Aku menyaksikan adik kecilku terbaring koma di suatu ruang gawat darurat dan tiada cahaya kehidupan lagi di matanya.

***** ***** *****

Kami adalah kakak-beradik yang jarang sekali akur. Bisa dibilang aku lebih sering membencinya daripada mencintainya. Segala yang kami lakukan pun menjadi masalah dan perdebatan. Mulai dari berebut tontonan televisi, lagu di radio lokal, memperdebatkan sikap dan cara bicara ke orang lain, sampai hal-hal yang amat sangat remeh. Mungkin orang tuaku menjadi salah satu pasangan yang paling dipusingkan di dunia dengan kehadiran kami berdua. Tetapi lembaran cerita sepenuhnya berubah setelah siang itu.

Alana Birania Casetra. Nama yang terlalu indah untuk seseorang yang jika ia berbicara , kekerasannya seperti senapan mesin SPM3 lengkap dengan 3.600 selongsong peluru yang siap ditembakkan sekali waktu. Bedanya, peluru itu adalah rentetan huruf dan kata. Keras kepala, judes, dan tidak pernah sekalipun mau mengalah dengan siapa saja, itulah adikku Bira. Bira lahir pada hari Sabtu Pahing dan saat itu ia berumur14 tahun. Dalam kepercayaan orang Jawa, seseorang yang lahir pada Sabtu Pahing akan tumbuh menjadi sosok yang berkarakter sangat keras. Memang, sifat dan takdir seseorang adalah milik Tuhan semata, tetapi agaknya mitos Jawa pun ada benarnya.

Bira berjalan turun menapaki satu persatu anak tangga sekolahnya pada suatu siang. Ia bersama beberapa orang kawannya dan sedang bersenda gurau layaknya anak SMP pada umumnya. Tak berselang beberapa lama, Bira merogoh tasnya untuk mengambil sebuah telepon genggam dan tampak tulisan pada layarnya "Mama". Ibuku menelepon dan memberitahukan bahwa beliau tidak jadi menjemput ke sekolah. Bira pun kesal bukan main dan mulai membentak kecewa. Ia terus menuruni tangga dengan cepat sambil setengah bersandar ke pagar tangga sebelah kiri. Sandaran setinggi pinggang tersebut menjadi pembatas antara tangga dan lantai dasar sekolah. Sambil menelepon, Bira kehilangan keseimbangan dan terjungkal kebelakang saat memunggungi pagar tangga. Tubuhnya meluncur deras 3 meter kebawah dan kepalanya menghantam dasar lantai terlebih dahulu. Ia terkapar tak sadarkan diri dan kejang tubuhnya seperti orang yang sedang dicabut nyawanya oleh malaikat maut. Semua orang pun gempar dan langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.

Di saat yang bersamaan aku sedang menghadiri sebuah pertemuan mahasiswa di Bandung. Kulihat telepon genggamku bergetar dan nomor tak dikenal memanggil. Lantas kuangkat dan suara seseorang yang tidak menyebutkan namanya memberitahukan bahwa kecelakaan fatal menimpa adikku. Aku langsung bergegas menuju mobil tanpa basa-basi lalu pergi meninggalkan Bandung. Hari itu aku tak membawa apa-apa selain diri dan pedihnya kekhawatiran yang belum terjawab. Bandung-Jakarta kutempuh dalam waktu 2 jam 30 menit, begitu cepat tanpa perhitungan dan kuinjak pedal gas sejadi-jadinya sore itu.

***** ***** *****

Itulah malam terpanjang dalam hidupku. Menit-menit menjadi sangat panjang saat aku memasuki ruang gawat darurat setelah menerobos bilik-bilik putih jauh di ujung lorong paling ujung rumah sakit. Berpuluh-puluh orang terduduk lesu di depan ruang VIP, beberapa diantaranya menangis sedu sedan dan sisanya membaca suratul yassin. Aku tiada lagi mengenal wajah-wajah itu, mereka seperti boneka-boneka yang berwajah sama. Raut-raut yang diliputi kesedihan. Seragam dan tampak semakin kelam. Yang kukenal hanya dua manusia yang saling berpelukan dimuka pintu VIP. Mereka biasa kupanggil ayah-ibu.

Laksana godam besar yang menghantam badan bertubi-tubi, hingga hancur remuk segala belulang. Mungkin itulah yang dirasakan oleh Ibu setelah melihat putri kesayangannya meregang nyawa diatas branker. Bagaimana tidak, Ibu mendengar Bira menjerit ketika Ia terjengkang di udara yang kemudian tidak ada lagi suara apapun yang terdengar lantaran telepon genggamnya pecah tercerai-berai menghantam lantai. Begitulah kurang lebih penjelasan dari bibiku, yang sedang bersama Ibu ketika adikku jatuh. Di bawah terangnya neon-neon rumah sakit, Ayah diam seribu bahasa dan bibir tidak berhenti melafazkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Tak lama berselang, seorang berjas putih keluar dari ruang VIP dan dialah Dr. Ade. Beliau adalah dokter yang pertama turun menangani Bira dan kegamangan raut wajahnya pun tidak bisa disembunyikan. “Bira mengalami gegar otak yang sangat parah, tulang cefalotoraxnya retak dan serpihan tulang harus segera dibersihkan. Kalau pihak keluarga siap, kami akan segera melakukan operasi besar dan Bira akan masuk ruang steril”, ujar Dr. Ade. Kami semua serempak menyetujui. Sekarang hanya tinggal menunggu sejauh mana kemajuan kondisi Bira dan selepasnya adalah operasi.

Memang perencanaan tidak akan selalu berhasil sesuai keinginan. Sejauh ini, kondisi tubuh Bira pun masih kritis. Beberapa kali Ia muntah darah dalam keadaan tidak sadar. Kami yang melihatnya pun seperti tercabik-cabik rasanya, melihat anak yang demikian mudanya harus merasakan penderitaan melawan rasa sakit dalam keadaan yang hampir berada di titik nol. Aku berucap dalam hati, “Sungguh jika semua hal ini akan menunjukkan keadilan Tuhan, maka kuatkanlah kami dan berikanlah kami semua hasil yang terbaik”. God works with miracles, God hears everything we say even if it is spoken deeply in our heart, God will hear it letter by letter, word by word. Tiba-tiba rasa itu muncul dari dalam hatiku. Dan operasi besar pun dilaksanakan tepat di hari ketiga sejak Ia masuk rumah sakit.

***** ***** *****

Aku kerap kali menemani Bira di ruang rawat inap. Satu minggu telah berlalu sejak peristiwa Ia jatuh dan sekarang pun masih terlelap dalam tidur panjangnya. Aku melihat sosok yang sama sekali berbeda dengan adikku. Rambut ikal panjangnya sekarang telah dicukur habis sejak operasi dan luka jahitan sepanjang 25 sentimeter di bagian kanan belakang kepalanya masih sedikit mengeluarkan bercak-bercak darah. Aku beberapa kali mengumandangkan adzan dengan sedikit berbisik di telinga kanannya sebelum Ia dioperasi. Itulah kali pertama aku beradzan untuk orang lain. Seringkali kuajak Ia bicara dalam tidur panjangnya. Janji-janji kuucap dan permohonan selalu kupanjatkan atas-Nya. Aku akan mengajaknya bermain seperti dulu ketika Ia masih kecil. Kami biasa bermain kejar-kejaran di rumah, bermain puzzle dari hadiah ulang tahunnya, atau sekedar menonton Lion King hingga kami hafal seluruh dialognya. Aku akan mengajak Ia ke tempat-tempat yang selalu diidam-idamkannya, walau hanya sekedar naik halilintar di Dufan. Semakin sering kuucap seribu janji, semakin banyak air mataku yang jatuh di telapak tangannya yang kugenggam. Penyesalan pun selalu berakhir dengan derai air mata.

Aku memang sangsi, telah menyia-nyiakan satu-satunya adikku sebelum Ia jatuh. Aku tidak mengerti arti dari harmonisnya sebuah hubungan darah. Aku seperti menghambur-hamburkan nikmat Tuhan dan malah memperburuk dengan gamblangnya sebelum Bira jatuh. Alasan pun terasa sangat klise, seseorang tidak akan pernah merasa memiliki setelah Ia merasakan pedihnya kehilangan. Beruntunglah kami sekeluarga karena Tuhan belum memanggil Bira ke sisi-Nya. Setidaknya sampai empat belas hari berjalan setelah Ia jatuh.

Di lain waktu, Ayahku tetap terlihat tenang pasca peristiwa itu. Beliau semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Sifatnya yang temperamental lambat laun berubah menjadi sangat lembut. Bahkan jauh lebih lembut dari Ibu. Tutur katanya menjadi sangat halus dan Ayah mudah sekali tersentuh ketika rekan-rekannya memberikan moral support. Untuk pertama kalinya juga dalam hidupku, aku dapat merasakan kehangatan kasih seorang Ayah.

Kami sekeluarga merasakan diri kami menghambur berkeping-keping atas hilangnya keseharian kami dirumah bersama Bira. Tak pernah kubayangkan bahwa setelah empat belas tahun Bira dilahirkan dari rahim Ibu, Ia harus mengalami perpindahan hidup yang drastis. Saat itu Ia hidup bertemankan infus dan jarum suntik. Jauh dari bayangan kenyamanan pada umumnya. Ibu sering bercerita bahwa beberapa kali beliau mendengar Bira menyebut-nyebut namaku dalam tidurnya. Bira pun belum juga siuman saat itu. Renyuhlah sudah rasa ini ketika mendengarnya. Sejak itu, hari-hari kami banyak dihabiskan dengan berpasrah diri dan warna-warni belum juga kembali lagi. Entahlah apa yang akan diberikan Tuhan, kami akan menerimanya sepedih apapun pemberian-Nya.

***** ***** *****

Empat tahun telah berlalu dari masa-masa kelam. Saat-saat ketika hati menjadi dipenuhi oleh harap dan rasa takut. Aku ingat betul pernah memegang tangannya dan mengajaknya berbicara di ruang rawat itu. Tidak ada sedikitpun yang terlupakan, walaupun bibirku terus menerus bicara dengan sesosok gadis yang tidak berdaya ada di pembaringan rumah sakit. Aku merasa sangat durhaka kepada Tuhan. Aku selalu datang untuk sujud kepada-Nya dengan sejuta pertanyaan tentang dunia dan rasa memiliki yang berlebihan. Sementara dunia ini hanyalah rentetan cerita, ruang dan waktu yang numpang lewat. Dan manusia bukanlah siapa-siapa di dalamnya. Mengapa kita selalu datang dengan pertanyaan? Tidakkah kita –manusia hina- memang seharusnya datang dengan penuh rasa syukur tentang seluruh peristiwa dalam kehidupan kita. Aku kembali ditampar oleh realita. Rasa malu telah menghabiskan sisa-sisa air mataku yang semalaman kutumpahkan seluruhnya. Ternyata sosok Bira adalah kunci dari harmonisnya kehidupan keluarga. Pelajaran untuk saling menghargai dan lebih menunjukkan kasih sayang ternyata kami temukan di saat-saat yang paling menyakitkan. Itulah sepenggal definisi tentang life-lesson menurutku. Sekarang aku bisa meneriakkan kasih sayang kepada siapapun di rumah. Ayahku. Ibuku. Semuanya. Itu semua karena hidayah yang diturunkan Tuhan melalui penderitaan yang dialami Bira. As I have stated before, God works with miracles.

Sementara itu, sesosok gadis remaja menghampiriku sambil memegang Haagen Daaz chocolate flavor kegemarannya, Ia bersorak-sorai riang lengkap dengan pakaian khas Aceh setelah selesai menarikan Saman di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Aku memeluknya erat-erat dan rasa bangga mengalahkan iri lantaran Ia telah menyukseskan acara 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional dan menjadi bagian dari 600 orang penari Saman yang masuk MURI dengan penari terbanyak di Indonesia. Ia memintaku untuk melepaskan eratnya pelukanku dan setelah itu berlarilah Ia menuju Ayah dan Ibu. Setelah itu, Ibu memanggil kami di ruang keluarga untuk segera menikmati hidangan makan malam Chicken Sniztzel super lezat buatan Ibu beserta sepiring besar Fettucini. Tak berapa lama berselang, kudengar Ibu memanggil seseorang yang sedang melepas sasak rambutnya yang dicepol saat menari Saman. Ayahku pun hanya manggut-manggut saja dan sedikit tersenyum kecut. Dialah sosok tersayang yang kami panggil Bira.

Kamis, 04 Desember 2008

Oko Moro

Yang kuingat, mesin kapal semakin menderu ketika aku melewati Selat Beliah yang teronggok jauh di pelabuhan paling utara Pulau Kundur. Orang-orang yang menunggu di Selat Beliah hanya menatap kami yang duduk di dalam kapal ferry tersebut dan melihat keluar melalui jendela. Kapal yang kutumpangi hanya selewat saja melintas setelah setengah jam bertolak dari Port of Tanjung Balai Karimun. Dan aku menuju Moro, sebuah tempat yang terletak di Pulau Sugi Bawah. Hari Kamis dua puluh tujuh Desember dua ribu delapan.

Aku serba salah mau duduk dimana. Jika aku duduk di dek atas , maka aku dapat menikmati angin laut tetapi akan terasa sangat menyiksa karena matahari akan dengan beringasnya membakar kulit, sedangkan duduk di dalam pun juga salah karena aku pasti akan bermandi keringat dan menikmati sesaknya udara yang bercampur uap air dari peluh para penumpang. Aku pun akhirnya memutuskan untuk duduk di dalam. Tak apalah, yang penting aku tidak menderita sun burn.

Matahari sangat terik kala itu. Tadi kulihat jalan-jalan di pelabuhan pun terlihat cukup sepi karena orang banyak berkerumun di kedai-kedai kopi tua di pinggir jalan untuk menghindari panas sembari menunggu kapal. Bahkan para kuli pun menyerah dengan panasnya hari itu, sehingga mereka mengaso di bawah payung-payung lusuh di sebelah kios penjual tiket. Sang nahkoda pun terlihat berkali-kali mengusap peluh dengan handuk yang dilingkarkan di lehernya. Ia harus memicingkan mata karena silaunya permukaan air laut yang memantulkan cahaya matahari.

Dua jam perjalanan ke Moro sungguh terasa lama seperti halnya terkena macet total di sepanjang jalan Rasuna Said di Jakarta ketika sore. Ini pun terasa lebih menderita karena harus bertempur dengan panas dan bersahabat dengan peluhnya bapak tua berbadan besar dan berbau ketiak. Panas di kapal menuju Moro itu dua kali lebih panas dari bus-bus kota di Jakarta. Sungguh, inilah arti dari perjuangan yang sebenarnya. Setelah dua jam lewat, aku pun tiba di pelabuhan Moro dan aku tahu, kawanku pun telah menunggu disalah satu kedai di area pelabuhan.

************** **************

Moro terletak di sebuah pulau kecil. Panjangnya pun hanya 10 kilometer. Aku bisa berlari melintas dari ujung ke ujung dengan hanya memakan waktu kurang dari satu jam. Namun inilah daerah dimana aku harus melakukan survei potensi -atas nama perusahaan tempatku bekerja. Suasana Moro di sekitar pelabuhan terlihat damai. Orang-orang keturunan Tiong Hoa dapat dengan lepasnya bersenda gurau dengan pribumi. Kulihat orang Jawa, orang Melayu, orang Batak, orang Cina, semua campur aduk seperti gado-gado di dalam rumah makan Minang Jaya. Beberapa dari mereka pun duduk melingkar di satu meja. Merokok dan tertawa membicarakan partai akbar sepakbola PS Moro yang sukses mengandaskan PS Kundur dengan skor 3-1 kemarin sore. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat fanatisme buta orang-orang pulau kepada kesebelasan kesayangannya. Aku hanya berdiri menunggu kawanku di depan rumah makan itu.

Tak lama kemudian kulihat sesosok pria sedikit pendek berbadan kekar, berkulit hitam, berambut lurus kaku lengkap dengan minyak rambut casablanca-nya terlihat berjalan mendekat dan dari jauh pun aku dapat mengenalinya. Dialah Oko, kawanku yang kutunggu. Nama aslinya Sukur dan Waymahing adalah marganya. Sukur Waymahing, sebuah panggilan yang biasa dikenali oleh orang-orang. Tapi menurutku lebih mudah untuk memanggil Oko saja. Aku pun berbincang basa-basi sebentar lalu langsung melanjutkan pekerjaanku untuk memantau kondisi Moro. Oko pun hanya ikut saja dan berjalan di samping kiriku sembari mendengarkan penjelasanku yang sedikit ilmiah mengenai daerah tersebut.

Kawanku ini adalah orang yang menemaniku melakukan survei daerah di Moro. Sebenarnya dia adalah penghuni asli Tanjung Batu - sebuah daerah di pulau Kundur di sebelah selatan pulau Karimun. Namun dia berasal dari salah satu daerah yang paling cantik keindahan alamnya di timur jauh. Daerah itu bernama Flores. Oko yang berjiwa Rambo pun hancur luluh dengan keindahan gunung-gunung dan pantai-pantainya sehingga dia selalu menyebut-nyebut rindu kepada daerah asalnya tersebut. Sungguh ironis. "Aku rindu Flores Bang Nalend, alamnya itu indah bukan main...Waktu kutengok gunung Mandiri, kupikir itu kumpulan awan hitam yang mau hujan, tak tahunya itulah gunung, Bang", begitu katanya. Keindahannya pantai-pantai di Flores pun tak terkalahkan menurutnya. "Ingin menangis rasanya waktu aku pulang ke Flores, Bang..ini air mata sudah mau jatuh", ujarnya. Lantas aku pun berpikir, manusia macam Rambo yang jago berkelahi sepertinya mau nangis? Aku makin heran sekaligus penasaran dengan Flores. Namun aku pun setuju saja dengan dahsyatnya panorama Flores yang ia ceritakan. Lalu kami pun tertawa selepasnya sepanjang perjalanan survei.

Terus terang, aku terkesima dengan semangat bekerja Oko. Ia adalah pekerja keras. Kalau kuperhatikan, ia adalah tipikal manusia yang pantas dikategorikan hard worker instead of smart worker. Kalau diterjemahkan, kelebihannya adalah bekerja dengan otot yang berlebih dan kekurangannya adalah memaksimalkan bekerja dengan otak. Ototnya kuat bukan main, kurasa menarik kapal dengan tambang yang diikatkan di badannya sambil berenang gaya dada pun bukan masalah baginya. Hobinya adalah sepakbola; pernah suatu pertandingan dia bermaksud mengoper bola pada striker dari belakang garis tengah lapangan sisi kiri, namun tampaknya terlalu keras dan jauh ke sudut kiri depan, ia pun dengan paru-paru berkapasitas mesin Honda NSR 200 cc-nya, mengejar lagi bola operannya dan menghantam si kulit bundar hingga meluncur deras ke pojok kanan atas jaring gawang lawan dan dengan suksesnya membuahkan gol paling cantik malam itu. Ironisnya, ia bermaksud mengumpan kepada striker yang satu lagi. Aku (kembali) hanya geleng-geleng kepala. Oko adalah juara ketiga lomba marathon tahun ini. Pekerjaan tetapnya itu naik tangga mengganti spanduk di tiap-tiap kios atau outlet yang ada. Namun, ia harus diarahkan dalam berpikir. Terutama yang berhubungan dengan masalah pekerjaan. Oko adalah tipikal orang Flores di Kepulauan Riau pada umumnya; berbicara tegas berlogat campuran Melayu dan Flores namun berbelit-belit, memiliki loyalitas yang tidak ragukan, memiliki rasa setia kawan yang sangat tinggi, lugas dalam bekerja, dapat menjalin hubungan yang baik dengan setiap orang, menegang air mukanya ketika menemukan sesuatu yang membingungkan dan bertentangan dengannya, dan memilih untuk menyelesaikan masalah dengan power jika merasa sulit untuk diselesaikan. Dengan kata lain, perkelahian. Tetapi terus terang, aku tertarik dengan pribadinya yang apa adanya dan kocak.

Sepanjang kedinasanku di Moro pun, kenyataannya lebih banyak aku yang diam mendengarkan dia bertutur dan bercerita. Kurasa dia pun hormat kepadaku. Dari siang hingga malam kami pun hanya haha-hihi saja sambil mensurvei potensi daerah-daerah di Moro.


****************** *******************

Geleteng Duling Keat Meteng Pelahen Hala. Itulah nama Flores kawanku si Oko. Artinya adalah orang yang membuka suatu tempat atau pembuka kampung. Geleteng, begitulah orang biasa memanggilnya disana. Ia pun baru satu kali pulang kampung ke Flores dan baginya itu sepenuhnya perjuangan di jalan, karena harus menghabiskan delapan hari di kapal Serimau lengkap dengan kesuperkotoran bilik-bilik kamarnya dan makan dari periuk nasi yang dikobok ramai-ramai.

Untuk seorang sepertinya, ia mempunyai nama yang dalam maknanya. Aku yakin, orang yang menamakannya pun tidak main-main ketika memilihnya. 'Pembuka daerah', menurutku itu adalah tanggung jawab yang berat bagi seorang yatim-piatu yang masih berumur 26 tahun. Setelah kusadari, caranya ia hidup cukup merepresentasikan namanya. Aku pun cukup terkejut ketika mendengar dari seorang rekan kerjaku bahwa Oko adalah ketua pemuda di Tanjung Batu. "Wow, itu baru menarik", gumamku dalam hati.

Ketika itu tak terasa sudah jam setengah 3 sore. Kami pun beristirahat sebentar di salah satu kedai kopi yang cukup jauh dari pelabuhan. Kedai kopi kecil yang berdinding kayu dan beratap seng yang bolong-bolong sehingga di kala hujan, porak-porandalah manusia satu kedai tersebut karean bijih-bijih kopi yang berserak akan bercampur dengan air hujan dan terinjak-injak orang. Kedai kopi itu langsung menghadap laut dan terlihat biru-kehijauannya pantai Moro dan berpuluh elang-elang laut terlihat terbang berputar-putar lalu menyambar ikan-ikan yang naik ke permukaan. Di timur saja kuhitung ada sekitar sembilan elang yang terbang dengan gagahnya. Beberapa menukik menghujam laut lalu sekitar satu meter dari permukaan air kembali berelevasi ke atas karena ikannya menjauh dari permukaan air. Pemandangan yang menakjubkan. Elang-elang tersebut berbulu coklat tua, berkepala putih dan berparuh kuning. Namun berukuran relatif lebih kecil dari elang laut yang biasa kita lihat di majalah National Geographic. Mereka itu adalah makhluk yang indah menurutku. Lambang keberanian, kebebasan dan kekuatan. Pemburu sejati dan hidup dari kelemahan makhluk lain. Di Kepulauan Riau banyak sekali jenis elang seperti ini dan mereka akan keluar dari sarangnya ketika sore. Oko pun terlihat menikmati pemandangan tersebut sambil sesekali menyeruput kopi tubruknya.

Alam di Moro pun kurasa tak kalah mempesona dibanding Flores. Di hadapanku saat itu adalah Pulau Mandah yang berbukit-bukit. Berundak-undak hitam kehijauan terkena sinar matahari sore yang kadang meredup karena terhalang awan. Beberapa dermaga kecil tampak dari jauh, terpisah-pisah mengikuti pusat-pusat pemukiman penduduk di pulau tersebut. Dermaga-dermaga kayu yang pasti rubuh kalau tersenggol kapal yang salah dikendalikan karena begitu keropos dan tua kayu-kayunya.

Oko kemudian bercerita tentang penduduk Moro yang terkenal dengan kekuatan dan pengaruhnya. Orang Benteng, demikianlah mereka biasa dikenal dan disebut oleh penduduk lokal. Kaum yang berkarakter keras, saling melindungi sesamanya dan less negotiable. Oko mengingatkanku untuk bersikap manis di Moro dan sebisa mungkin 'permisi' ketika melewati orang-orang yang berkumpul. Aku pun mengiyakan saja. Salah satu contoh orang Benteng adalah sang kampiun marathon pulau yang menang lomba lari lebih dari 10 kilometer tanpa beralas kaki. Oko pun menyerah di kakinya (bukan ditangannya) dan harus puas di posisi ketiga. Ia adalah representasi dari sebenar-benarnya orang pulau yang bermatapencaharian sebagai nelayan, berkulit legam-kencang, merokok kretek setiap saat, dan bermata kuning.

Di daerah kepulauan Riau, tiap pulau pasti memiliki kaum-kaum pelindungnya masing-masing. Mereka adalah kumpulan orang yang paling menjaga hubungan erat kekerabatannya, namun terkadang disalahartikan sebagai orang-orang garis keras. Hampir persis seperti halnya para Bonek, Jak-Mania, atau malah Front Pembela Islam. Kurasa semua orang berhak mengklaim sifat pihak lain, tetapi mereka tidak berhak menyimpulkan sesuatu yang prejudis berdasarkan sinisme semata.


*********************** ************************


Kurasa matahari pun terbang semakin rendah. Langitpun memerah-jingga saat itu. Bayang-bayang pohon nyiur dan rumah penduduk pun tampak merunduk. Bayangan nyiur nampak seperti berada di dalam laut yang menjuntai dan bergoyang gemulai mengikuti arus bawah. Buah kelapanya juga terlihat masih sangat hijau. Saat itu waktu menunjukkan pukul 16.00 tepat dan aku serta Oko berputar arah kembali menyusuri jalan utama. Pusat peradaban di Moro hanya terletak di dekat pelabuhan saja di sepanjang Jalan Utama Jend. Soedirman. Disitulah kita masih dapat melihat rumah-rumah yang kokoh terbuat dari beton, berpagar besi, beratap terakota warna-warni. Ditambah lagi oleh banyaknya kedai makan yang berderet, kios-kios penjual pulsa, bengkel, wartel, warung-warung penjual sembako, hingga toko yang menjual kebutuhan sehari-hari atau mini mart. Selebihnya, daerah Moro adalah hampir sepenuhnya kosong. Jika kita berjalan agak ke tengah pulau menyusuri jalan-jalan setapak, maka perbedaan pun terasa. Rumah-rumah penduduk sedikit berjauhan, atap-atap terakota berubah menjadi seng atau rumbia, masih terlihat ayam-ayam yang beranak-pinak menciap menyebalkan, para kucing garong-belang yang mencari makan ke dapur-dapur rumah dan puluhan anjing mbeladus yang semestinya sudah disuntik mati karena kekotorannya. Ya, inilah Moro.

Langit mulai memerah, namun masih terlalu terang bagi kami -petualang seperti aku dan kawanku Oko- untuk menyudahi perjalanan. Kami beberapa kali melihat ada tanda-tanda kehidupan di pulau seberang. Pulau Jang, sekitar 1 kilometer dari Moro - pulau Sugi Bawah. Oko pun menunjukkan minatnya yang menggebu. "Ayo Bang, Oko ingin tengok itu pulau, belum pernah main kesana...Kalau abang ada waktu kita nyebrang lah..", harapnya. Aku setuju dan kami pun mencari perahu untuk menyebrang. Ada beberapa kapal pompong yang biasa mengantar orang hilir mudik ke pulau-pulau. Ongkosnya pun sangat murah hanya Rp 2.000,- saja. Kami pun berangkat.

Aku mengeluarkan kamera digital Sony bututku dan mulai mengambil snapshot-snapshot apapun. Penumpang kapal pompong tersebut berjumlah sekitar 8 orang yang terdiri dari aku, Oko, 4 orang gadis kecil yang sumringah minta difoto, sang pelempar jangkar dan si pengemudi itu sendiri. Salah seorang dari gadis cilik tersebut merah padam mukanya saat aku mengarahkan kameraku ke mereka. Si Rambo-Oko pun ikut-ikutan ambil posisi dengan gaya kecoverboyannya. Maybe this is the moment when people call enjoying life and seeing beautiful places. Aku berpikir, momen-momen yang membahagiakan malah kerap terjadi disaat kita tidak pernah mengharapkan dan bersama orang-orang yang mungkin pada awalnya sepenuhnya asing. Satu tahun yang lalu aku masih banting tulang di salah satu perusahaan paling elit di dunia dan di kerasnya industri Jakarta. Sekarang aku terduduk di kapal pompong yang sedang berjalan membelah ombak hanya 30 centimeter jarak antara buritan dari permukaan laut , ditengah laut lepas yang membiru, terperanjat melihat indahnya Kepulauan Riau, dan tidak mendapat jawaban apa-apa dari perjalanan ini selain kenikmatan dunia dan keadilan Tuhan. God works with miracles and definitely mysterious. Alhamdulillah.

Sekitar 20 menit berlalu dan kami tiba di dermaga reyot di daerah Jang Dalam. Dermaganya agak tinggi sehingga kami pun harus naik menapaki anak tangga dari beton yang terlihat jelas dibuat asal-asalan oleh penduduk pulau. Aku dan Oko tidak mempunyai tujuan yang pasti disini. Kami hanya ingin berjalan-jalan saja. Dan kami pun langsung mengambil langkah menuju pelabuhan lain yang ada di pulau Jang untuk mencari kapal pompong lain kembali menuju Moro. Untuk itu, kami harus melintasi pulau, melewati rumah-rumah penduduk dan pasti mengucapkan salam dimanapun kami berada. Mayoritas penduduk Jang bermatapencaharian sebagai nelayan dan awak kapal. Mereka melaut hampir tiap hari, baik ketika angin sedang bagus ataupun ketika tiba masa-masa paceklik laut. Bagiku, itulah keseharian mereka. Turun ke laut pun menjadi sesuatu yang lebih esensial daripada bekerja semata. Laut adalah kanvas dimana hidup mereka sepenuhnya dilukiskan dan mereka adalah kuasnya. Hidup dan matipun bagaikan diperhitungkan diluar lukisan tersebut. Jika lukisan itu jatuh, tersobek siapa atau meluruh tersiram air hujan, itulah definisi musibah atau kematian bagi mereka. Hidup sepenuhnya adalah kanvas dan kuas. Dan mereka adalah para pemberani yang selalu menentang angin.

Sambil jalan, Oko pun bercerita bahwa salah satu pembunuh kelas wahid di kepulauan ini adalah petir. Petir. Sekali lagi, petir. Fenomena alam ketika mendung yang diakibatkan oleh perbedaan suhu yang memicu muatan-muatan listrik di awan sehingga menimbulkan percikan api atau kilatan cahaya listrik yang terlihat amat mempesona bagi penikmatnya. Itulah pembunuh nomor satu disini. Tanah Kepulauan sangatlah kaya mengandung hasil-hasil tambang yang berlimpah. Mirip dengan Bangka-Belitung, Kepulauan Riau pun mengandung mineral timah, granit, bauksit, dan juga beberapa tambang pasir besi. Kemungkinan ini adalah alasan yang cukup logis mengapa petir seringkali nyasar menghantam tanah Kepulauan. Jika hujan, para penduduk akan mencari perlindungan ke tempat yang paling aman dari sambaran halilintar. Aku pun pernah diberitahu bahwa petir memang sebegitu mematikannya di daerah ini, ketika sedang berbincang-bincang dengan rekan-rekan dokter yang bertugas di Kepulauan Riau, beberapa diantaranya pun akan kutemui malam itu di Moro. Mereka yang kehilangan anggota keluarganya karena petir pun menjadi benci setengah mati ketika awan menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Ada salah seorang yang bertempat tinggal di Pulau Buru, kehilangan seluruh jari kakinya karena tersambar sengatan halilintar yang merambat di tanah. Ada pula yang seluruh tubuhnya memperlihatkan luka bakar karena tersambar kilatan petir. Beruntunglah orang itu selamat dari maut. Pada kasus lainnya, banyak penduduk pulau yang harus merelakan petir menjadi alasan malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Salah seorang rekan yang bekerja sebagai sekuriti menara telekomunikasi pernah bercerita bahwa ia lebih baik masuk ke dalam lemari untuk berlindung dari petir ketika hujan tiba. Tempat kerjanya terletak persis di samping menara pemancar yang memiliki besi penangkal petir. Tetapi terkadang arus listrik petir teramat dahsyat, sehingga besi penangkal yang harusnya hanya berfungsi meneruskan arus ke tanah, tidak dapat meredam daya listriknya. Alhasil sengatan listrik masih menjalar-jalar menyambar sesuatu yang paling dekat. Cara paling tradisional untuk berlindung dari petir adalah masuk ke dalam rumah dan mencari tempat yang paling sentral dari rumah tersebut. Berdiri atau duduk bersandar pada tembok hampir sama dengan membuka potensi untuk disambar.

Itulah kira-kira wajah pembunuh di Kepulauan ini. Tetapi kurasa sang petir takut dengan Oko. Karena air muka ketika ia sedang marah pun seakan-akan seperti gumpalan awan mendung dan gelap yang petirnya siap menyambar marah sewaktu-waktu.

Kami terus berjalan menerobos perumahan penduduk. Aku sempat mengambil gambar dari para pelaut yang sedang membuat kapal build-up. Mereka sedang membuat lambung kapalnya. Tampak kayu-kayu yang telah di ampelas berbonggol-bonggol diletakkan disebelah rangka kapal. Salah seorang dari mereka melihat aku dengan amat geramnya saat mengabadikan peristiwa itu dengan kameraku. Mungkin mereka merasa terganggu lantas aku pun lekas-lekas pergi meninggalkan. Aku dan Oko berjalan menyusuri semenanjung Pulau Jang, di bagian barat daya pulau, bekas-bekas tapak kakiku semakin banyak. Kita pun berjalan semakin jauh dan mendekati dermaga diujung paling barat dari Pulau Jang. Dermaga tua, seperti sebelumnya. Bahkan yang kali ini lebih buruk. Lebih tua, lebih reyot dan jika ingin ke kapal harus memanjat turun melalui susunan balok-balok kayu rapuh yang disusun. Jika tergelincir paling-paling basah karena pasti jatuh ke air. Lalu kami pun berangkat dan kembali ke Moro.

Jika sore, pulau-pulau tampak suram. Kapal pun tak lagi melintasi air secepat di kala siang. Udara tidak lagi terasa panas dan aku duduk di buritan depan persis di atas ujung kapal yang membelah air. Terlihat Moro dari jauh dan elang-elang masih berputar diatas kembali ke sarangnya. Esok hari mungkin akan terasa lebih menyenangkan atau malah mungkin tidak sama sekali. Entahlah, aku mau istirahat saja. Di tengah geladak kapal Oko melagu; "...tak mungkin terlewatkan...Dan slalu mengagguminyaaa...Kesempatan seperti iniii...Tak akan bisa dibeli...."
Kuputuskan untuk mengakhiri hari dengan tersenyum saja.