Selasa, 22 Februari 2011

Opa Boy

Dulu aku hanya berpikir bahwa mimpi hanyalah gambaran-gambaran imajiner yang ada di kepala manusia. Mimpi-mimpi itulah yang akan menentukan kemana hidupku akan dilanjutkan di masa depan. Terbersit olehku baru-baru ini bahwa mimpi dapat tumbuh baik di benak masing-masing orang maupun ditanamkan melalui orang lain.


*** *** ***


Ini cerita singkat tentang seorang teman baikku ketika aku masih bertugas di Batam, Kepulauan Riau. Kami memanggilnya Opa Boy. Dia berpostur sedikit tambun, dengan tinggi sekitar 182 cm, rambutnya sedikit panjang melebihi cuping telinga, berkulit sawo matang, dan membawa ribuan Rata Penuhamunisi bahan peledak tawa di tempat dia menginjakkan kakinya (baca: pelawak). Dia sudah berumur diatas 40 tahun dan termasuk orang yang dituakan di kantor kami di Batam. Oleh karena itulah kami memanggilnya 'Opa'.

Secara garis besar ada tiga golongan orang yang menempati Batam. Golongan pertama adalah mereka yang memang penduduk asli Batam. Golongan kedua adalah mereka yang berasal dari luar dan sudah menetap secara permanen di Batam. Kemudian golongan ketiga adalah mereka yang berstatus sebagai komuter dan tinggal di Batam hanya atas tuntutan pekerjaan. Opa Boy adalah 'penghuni' golongan ketiga ini. Opa Boy telah menghabiskan sekitar 8 tahun di pulau Batam dan termasuk salah satu saksi hidup dari berkembangnya segala pembangunan di pulau tersebut. Terkadang dia dipelesetkan sebagai Living Legend atau Frank Sinatra.

Lama masa kerjanya merupakan salah satu bukti bahwa ada ketidakwajaran yang terjadi di perusahaan tempat kami bekerja karena Opa Boy sudah terlalu lama ditempatkan di wilayah yang bukan wilayah tempatnya berasal. Apalagi penempatannya hanya di satu lokasi saja selama sewindu. Di kebanyakan perusahaan, karyawan akan ditempatkan di wilayah-wilayah tertentu selama 2-3 tahun. Setelah itu ada kejelasan atas penempatan selanjutnya. Nah, sirnanya kejelasan itulah yang menjadi problem untuk Opa Boy dan kami sebagai pendengar setianya mengiyakan.

Beban hidupnya untuk berhadapan dengan ketidakpastian setiap harinya membuat Opa Boy menjadi orang yang kadang terlihat kehilangan semangat hidup. Namun pandangan itu selalu berhasil ditepisnya dengan karakternya yang nyeleneh dan kocak. Dia bisa menghidupkan ruangan yang mulanya sunyi sepi menjadi hingar bingar karena lelucon-leluconnya walaupun seringkali nyerempet hal-hal khusus orang dewasa.

Terlepas dari tindak tanduknya yang terkesan slebor, menurutku dia termasuk orang yang memiliki cita-cita mulia. Dia ingin kembali ke Bandung, kota tempatnya berasal, untuk bisa menghabiskan hidup bersama istri tercintanya yang 11 tahun lebih muda. Cukuplah sudah perantauannya selama 8 tahun ini diarungi. Sudah terlalu banyak asam garam yang dia lalui. Bahkan anggapan ini mungkin telah melebihi kata pepatah "Cukup dengan asam garam kehidupan". Mungkin kehidupannya sudah terlalu asam atau asin. Bayangkan jika itu adalah makanan, kata 'terlalu' akan membuat kualitas rasanya jauh berkurang.

Dia sudah terlalu jenuh dengan rutinitas kantor yang monoton di Batam. Lengkap dengan segala intrik politik kantor yang seringkali membuat orang geleng-geleng kepala. Opa Boy ingin keluar dari lingkaran itu. Dia memiliki cita-cita untuk dapat menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Sebelumnya dia pernah membeli franchise merek dagang Mie Laos dan mendirikan sebuah resto kecil di salah satu jalan utama kota Bandung. Sangat disayangkan performa usahanya terlihat kurang berkembang di lokasi tersebut. Baru-baru ini dia mencuri waktu di sela kesibukan di Batam untuk merintis usaha restoran dengan spesialisasi menu bebek bersama istrinya di Bandung.

Kami sering bertukar pendapat mengenai jatuh bangunnya mendirikan usaha-usaha tersebut. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kehidupannya secara garis besar. Hanya saja kehidupannya belum sampai ke titik krusial dimana Opa Boy tiba di persimpangan dimana dia harus memilih. Bisnis atau karir. Mungkin mengambil keputusan untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut akan terasa lebih berat daripada 8 tahun penempatan di Batam. Apalagi sekarang dia sudah berumur lebih dari 40 tahun.

"Anak muda harus jantan man!", ujarnya setiap hari kepadaku.

Dia termasuk salah satu orang yang menyemangatiku agar lebih berani mengambil keputusan-keputusan penting untuk hidupku ke depan. Ini terkait dengan pilihanku untuk meninggalkan perusahaan ini karena keinginan untuk melanjutkan master studi ke luar negeri. Namun, bukan ini yang terpenting. Cerita utamanya adalah kesediaan seorang Opa Boy yang hampir setiap hari menyemangati junior-juniornya untuk lebih berani mengambil jalan hidup yang lebih baik. Dia tahu betul bahwa keraguan akan datang untuk menutupi jiwa yang sudah mantap akan pilihan hidup.

Dia menanamkan jiwa keberanian kepada mereka yang lebih muda karena dia ingin orang lain lebih baik dari kondisinya. Bagaimanapun juga, dia sudah melihat hal-hal yang belum bisa dilihat oleh orang-orang yang lebih muda darinya. Maka dari itu, dia begitu menekankan pentingnya sebuah keberanian dalam mengambil jalan hidup yang lebih baik. Menurutku sikap seperti ini sudah jarang kita temui karena kebanyakan orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

"Kalo ada yang mendukung lo untuk cabut sekolah, gw dukung 300%!," sahutnya.

Aku tidak akan pernah lupa kata-katanya. Opa Boy adalah salah satu dari dua orang yang pendapatnya paling kudengar selama aku bertugas di Batam. Dia merupakan salah satu dari orang-orang yang begitu menghargai perbedaan baik dari segi umur, suku, latar belakang pendidikan maupun jabatan. Bagaimanapun juga yang paling penting adalah kesetiaannya untuk menyediakan 2 telinga hanya untuk mendengarkan keluh kesah atau kebingungan yang dihadapi oleh junior-juniornya walaupun pembicaraan itu berlangsung berjam-jam.


*** *** ***

Kami bertemu di restoran Bebek Guludug di persimpangan jalan Ahmad Yani, Bandung. Opa Boy bersama istrinya menyambutku dan kami menghabiskan sisa-sisa sore ngobrol ngalor ngidul tentang mimpi masing-masing. Lima orang karyawannya hanya tersenyum simpul melihat Opa Boy dan sang istri tertawa riang bersama seorang pemuda remeh. Itu aku. Sudah hampir sebulan lamanya aku meninggalkan Batam ketika bertemu Opa di restonya.

Lantas aku bergumam dalam hati, "Yes Opa, you're now living your dream..."

1 komentar:

Bayang mengatakan...

Brader booyyyyyy...
Cepet sembuh brauw... I'll wait for you in that new city that you dont wanna come....