Rabu, 02 Februari 2011

Sepatu

Seperti menjadi orang yang terasing rasanya tatkala dia berlari menentang angin sore itu. Ia berpacu dengan ruas-ruas rel yang mungkin sudah berusia puluhan tahun. Langkah-langkahnya semakin panjang dan cepat saat ia semakin jauh berlari meninggalkan stasiun perhentian kereta. Senja mulai menapaki bumi ketika langkahnya menggetarkan bongkah-bongkah bebatuan kerikil rel dan senyum lebar terlukis di wajahnya.


*** *** ***

Empat jam telah berlalu setelah ia dinobatkan sebagai buruh terbaik di pabrik sepatu tempatnya bekerja. Disaksikan oleh ratusan karyawan-karyawati pada apel siang, pemilik pabrik memanggil namanya berkali-kali bahwa apresiasi pegawai teladan jatuh pada dirinya. Ia pun tidak bergeming dari tempatnya berdiri saat itu. Suara pemilik pabrik menggema di mikrofon sejelas sendok yang jatuh di tengah ruangan kosong, tetapi ia belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ia langsung tersadarkan setelah beberapa buruh lainnya menepuk-nepuk bahunya untuk menyadarkan bahwa memang dirinya yang dimaksudnya oleh orang yang berbicara di mikrofon. Terlihat peluh bercucuran dari keningnya yang mengindikasikan perasaan gugup. Kali ini bukan berpeluh lantaran lelah memisahkan dan memeriksa sepatu-sepatu layak jual, namun karena tidak percaya mengapa dirinya yang terpilih menjadi buruh teladan. Jangankan menerima hadiah uang tunai Rp 5.000.000,-, terpilih pun aneh sekali rasanya. Ia pun berjalan maju seperti murid SD yang akan disetrap oleh gurunya. Langkahnya pelan dan kecil. Ia menyembul keluar dari kerumunan buruh pabrik yang sebagian dari mereka adalah perempuan. Tubuhnya kurus dan kalau berjalan seperti tidak menapak tanah.

Ia pun tiba di depan mimbar dengan mimik muka enggan. Pemilik pabrik seperti menyadari keengganannya hingga kemudian ia pun bergegas turun mimbar dan langsung menyerahkan plakat penghargaan kecil bertuliskan namanya kemudian menyalaminya cukup lama. Tampak dari pria tambun berbadan besar itu air muka yang hangat ketika memandang sang buruh teladan. Kemudian terjadilah sebuah pembicaraan singkat. Pemilik pabrik berujar, “Keikhlasan saudara terlihat dari cara saudara bekerja setiap harinya. Tolong dipertahankan dan ditingkatkan!”

Sang buruh masih belum mengerti mengapa dirinya yang mendapatkan kehormatan itu. Lantas ia pun bertanya, “Mengapa saya yang menerima penghargaan ini Pak? Saya merasa tidak pantas. Yang saya kerjakan persis sama dengan apa yang rekan-rekan lain lakukan setiap harinya.

Dijawablah oleh sang pemilik pabrik, “Saudara memeriksa lebih dari seribu pasang sepatu setiap harinya dan petugas kami belum pernah sekalipun menemukan sepatu cacat yang lolos dari tangan saudara. Dari 3.423 buruh yang ada di pabrik ini, petugas menemukan rata-rata 32 dari 1.000 pasang sepatu yang masih cacat dari setiap buruh selagi siap ekspor.”

Sang buruh kembali terdiam. Terbersit di benaknya bahwa bukankah memang menjaga kualitas produk adalah tugas masing-masing orang. Ia masih heran mengapa 3.000 buruh dapat meloloskan lebih dari 30 pasang sepatu cacat. Ia kembali heran mengenai apa yang telah dilakukannya.

Saya memperhatikan saudara pulang beberapa jam lebih larut dari buruh-buruh lainnya hanya untuk memeriksa sepatu-sepatu tersebut. Bagi saya, itulah pembuktian kinerja saudara untuk pabrik ini. Bayangkan ada hampir seratus ribu sepatu cacat yang lolos dari second quality control setiap harinya. Sehingga pabrik ini harus menambah pengeluaran sumber daya manusia untuk double checking senilai lebih dari memproduksi setengah dari jumlah sepatu-sepatu cacat tersebut. Tapi itu tidak terjadi pada saudara. Itulah mengapa saya rasa saudara berhak atas penghargaan ini.

Mendengar kata-katanya, sang buruh kembali terdiam. Memang sulit untuk memeriksa kualitas ribuan sepatu setiap harinya, namun itulah yang ia lakukan sehingga dirinya harus pulang begitu larut. Ia teringat betapa luar biasa melelahkan untuk menunduk dan berdiri untuk mengambil sepatu dari conveyor belt pabrik tersebut dengan mata yang selalu awas memeriksa setiap bagian sepatu agar tidak cacat. Pemeriksaan mencakup dari tali, sol dalam, sol luar, jahitan, pemasangan merek, kerutan pada sepatu, elastisitas, dan juga ukuran. Terkadang ia tiba dirumah dalam keadaan letih luar biasa sehingga menemani istrinya pun kadang tidak sempat. Hingga keesokan harinya ia harus puas dengan senyum pahit istrinya yang melihat suaminya berangkat ke pabrik membanting tulang seharian hingga larut malam lagi. Ia pun berharap dalam hati bahwa suatu saat istri tercintanya akan memahami arti dari peluh yang ia peras selama ini.


Terima kasih banyak Pak atas rezeki Tuhan ini...”, ucapnya penuh syukur dan pemilik pabrik hanya tersenyum saja.


Sang buruh berjalan kembali ke barisannya dan ia teringat satu hal mengenai pesan ayahnya ketika ia berada di kampung halamannya di Blora. Dahulu ia membantu almarhum ayahnya untuk mengelola kebun nilam sebagai petugas suruhan salah satu pemilik tanah disana. Tugasnya adalah membantu ayahnya memelihara dedaunan nilam sebelum dipetik dan disuling. Ia bertindak bukan sebagai petugas, melainkan sebagai sukarelawan atas perintah sang ayah. Ayahnya adalah orang yang paling keras bicaranya tentang bagaimana cara merawat nilam. Nilam adalah salah satu tumbuhan yang paling sensitif terhadap perubahan lingkungan. Untuk menghasilkan nilam yang berkualitas tinggi ada beberapa hal yang harus dijaga. Dedaunan nilam haruslah dipangkas rapi dari tunas-tunas yang membuat cabangnya terlalu banyak untuk menghasilkan daun yang berkandungan minyak tinggi. Nilam harus dijaga dari hama ulat yang memakan daun-daun sehingga hanya menyisakan ranting-rantingnya saja. Ketika musim kemarau, dedaunan nilam harus disemprot satu persatu secara sangat hati-hati untuk menjaga kelembabannya dan di musim penghujan pengairannya harus dijaga sedemikian rupa agar kandungan minyaknya tidak terlalu melewati ambang batas sehingga mematikan tumbuhan tersebut.

Ia ingat betul akan apa yang ayahnya berikan kala itu. Berkali-kali ia merasa kesal setengah mati karena merasa melakukan pekerjaan yang tidak berhubungan sama sekali dengan minatnya. Bahkan ia merasa disia-siakan oleh ayahnya. Seakan-akan ayahnya menggunakan otoritas orang tuanya untuk mengeksploitir anaknya sebagai tenaga kerja. Apalagi saat itu umurnya baru 11 tahun. Sangat belia untuk seorang bocah dipekerjakan sebagai pemeriksa nilam. Ayahnya sering mengancam resiko pemecatan dirinya jika nilam-nilamnya dipetik dengan kualitas buruk.

Tanpa disangka-sangka pekerjaan itu melahirkan sisi jiwanya menjadi sosok yang peduli akan hal detail. Telah 16 tahun berlalu hingga ia berdiri di lapangan apel di depan pabrik dengan predikat buruh terbaik. Ia seakan-akan melihat almarhum ayahnya berjalan di belakangnya sambil tersenyum. Ia rindu setengah mati dengan ayahnya yang wafat 7 tahun silam.


*** *** ***


Bulir-bulir kapas yang jatuh dari deretan pepohonan beterbangan di hadapannya. Beberapa ekor burung perenjak lincah beterbangan atasnya, berkicau seperti anak-anak desa yang bermain kejar-kejaran. Terlihat surya yang sudah setinggi kepala orang dewasa berkilau jingga begitu megahnya. Dari kejauhan ia seperti seorang yang mengejar matahari. Langkah larinya yang semakin cepat kemudian disusul oleh gerbong-gerbong kereta yang lewat di samping kanannya dengan gemuruh-bising seperti datangnya gempa. Ia tidak peduli. Rumahnya tidak jauh lagi dari stasiun perhentian.

Tak lama kemudian hari sudah mulai gelap ketika ia tiba di hadapan pintu rumahnya. Ia mengatur nafasnya dan mengetuk pintunya dengan halus. Beberapa lama berselang terlihat seorang perempuan muda yang membuka pintunya. Mereka berdiri berhadapan cukup lama hingga sang perempuan mengernyitkan dahinya karena kedatangan sang buruh yang relatif awal hari itu. Dikecupnya kening perempuan itu. Lalu ia memegang tangan perempuan itu dan dituntunnya ia meninggalkan rumah. Mereka berjalan menjauh menuju tepian Sungai Brantas.

Sang perempuan bertanya, “Kita mau kemana?” Lalu sang buruh berucap, “Saya ingin membawa kamu makan malam...

Tampak dari kejauhan bayangan kedua pasangan bergandengan tangan yang semakin memanjang. Mereka seperti berjalan ditengah lingkaran matahari yang perlahan-lahan tenggelam di ufuk sana. Perempuan itu hanya menatapi wajah suaminya yang terus memandang kedepan sembari tersenyum mengingat ayahnya. Tidak peduli ada ribuan sepatu yang harus kembali diurusnya esok hari.

Tidak ada komentar: