15 September 2007. Jariku sedang terbelit-belit oleh seutas tali tambang yang tipis. Aku sedang mengikatkan tali tersebut pada sebuah kayu, yang kuambil dari sumpit-sumpit bekas di belakang rumah. Tampaknya membuat sebuah prakarya lebih sulit dari yang telah kuperkirakan sebelumnya. Ya! Prakarya berupa hiasan gantung yang terbuat dari kayu berbentuk huruf ‘M’ yang berulirkan tali tambang dan cukup banyak cangkang kerang menggantung di tiap-tiap sudut hurufnya.
Ini memang akan kutujukan kepada Putrika Maya. Wanita yang telah menemaniku tepat satu tahun belakangan. Karena pada dasarnya aku memang bingung hendak menghaiahi apa di tanggal bersejarah itu. Akhirnya kuputuskan untuk berkeluh-kesah membuat sebuat hiasan gantung, daripada aku dengan ‘bangganya’ terpaksa membeli haiah untuk orang yang kucinta. Seperti halnya laki-laki lain pada umumnya; bersandar kepada instannya sebuah pemberian dan kemuian melihat orang yang dikasihinya tersenyum gembira. Menurutku aku berbeda dari kebanyakan orang. Dan aku memang merasa telah meninggikan hatiku sesaat untuk beberapa hal seperti itu.
16 September 2007. Akhirnya kuberikan juga hasil tanganku kepadanya. Yak! Aku menerima sebuah senyuman! “Alhamdulillah, seenggaknya gue udah ngasih sesuatu yang gue buat sendiri di satu taunan kita,” gumamku. Ia sedang mengamati hiasan tersebut, tak lama kemuian berkomentar “Kamu kreatif banget siiih!” Sebuah simpul senyum mampir ke bibirku. Sejak kata-kata itu terlontar darinya. Lantas ia menggantungkan hiasan tersebut di langit-langit teras belakang rumahnya. Di depan taman yang cukup luas. Lengkap dengan segala bunga-bunga tropis yang menghiasinya. Namun hanya untuk sementara saja, karena ia akan membawa hiasannya ke Bandung esok harinya. Bahagia pun pelan-pelan masuk menyejukkan hatiku. Ibarat angin semilir yang meniup teriknya siang. Sejuk sekali. Atau seperti anak kecil yang dipuji gurunya atas nilai yang baik. Namun, tak tahu mengapa ada perasaan seakan-akan Maya tidak begitu senang dengan haiah dariku. Namun aku tak mau ambil pusing, mungkin itu hanya ekspresi. Mungkin berbeda di dalamnya. Apa yang ia rasakan, cukup menjadi rahasianya saja.
25 April 2008. Aku sedang bermain dengan kucing-kucing kecil di teras itu. Teras yang sama, tempat aku dan Maya biasa bercengkrama. Entah biasanya menunggu makan, mencari angin, bermain dengan kucing-kucing, atau malah hanya ngobrol masalah hubungan yang tidak pernah ada habisnya. Seperti biasa, aku tidak mau iajak ke dalam rumah karena sangat menikmati angin malam yang sejuk. Maya hanya iam saja. Ia tidak berbicara, hanya sesekali bercanda dengan kucing-kucingnya.
Aku melihat hiasan gantung yang kuberi masih tergantung di langit-langit teras. Dengan beberapa perubahan tentunya. Kusam, sedikit berlumut dan terlihat dekil tentunya. Aku tak tahu, mungkin karena sering terkena hujan yang beberapa bulan ini selalu turun dengan buasnya. Warna-warni kerang yang dahulu masih indah sudah mulai pudar. Mungkin jenuh terbasuh air dan debu yang menempel setelah sekian lama tergantung. Kuperhatikan, beberapa lengan kayunya patah. Mungkin karena beban kerangnya tidak seimbang. Maklum aku bukan seniman, melainkan hanya seorang yang sok tahu dan membuat hiasan gantung tanpa dasar apa-apa, hanya niat dan keinginan. Aku miris melihatnya tergantung tidak terurus dan jelas-jelas telah rusak dan kusam. Keikhlasanku diuji, sudah seharusnya pemberian itu dipindahtangankan atas dasar kepercayaan dan kerelaan yang sepenuhnya. Maya hanya iam. Tak bicara untuk beberapa saat, lalu meminta maaf untuk hiasannya. “Yaaaah, maaf ya Lend,” tukasnya. Aku mengangguk dengan isyarat mengiyakan. “There’s more than meets the eye,” menurutku sejujurnya aku tidak perlu menunjukkan apa yang aku rasakan.
Kukira hiasan tersebut sudah ia bawa ke Bandung, di gantung di kamarnya. Diperhatikan setiap hari setiap malam sewaktu-waktu ia rindu atau hanya iseng. Biasanya, jika para wanita merasa kesepian, mereka akan mencoba untuk melihat hal-hal yang unik. Menurutku hiasan gantung kerang tersebut cukuplah untuk mengisi sepinya waktu. Jika tungkai huruf M-nya diputar, maka kerang-kerang tersebut biasanya saling bertumbukan satu sama lain dan mengeluarkan suara Klak! Klak! Klak! Manis sekali, apalagi saat tertiup angin dan berulir dengan sendirinya.
“Udahlah Lend, itu kan cuma impian loe doang!”, kataku dalam hati. Sambil melihat hiasan tersebut tak ubah seperti halnya barang rongsok yang siap masuk tong sampah. Karena hampir tiada artinya lagi, terkecuali karena itu adalah hasil sebuah niat baik. Tampaknya kata-kata hanya ada di permukaan, namun aku yakin jika niat bisa menjadi kenyataan tanpa kata-kata sekalipun. Jika ia mau membawanya ke Bandung, mungkin kondisinya masih lumayan baik sekarang. Setidaknya hiasan itu tidak perlu ‘menderita’ didera angin dan hujan.
Singkat saja kesimpulanku. Inilah arti dari sebuah pemberian. Harus direlakan sepenuhnya dan jangan pernah melihat alasan apapun dibaliknya. Dan inilah juga manusia, penuh pengharapan dan mustahil untuk sepenuhnya menerima. Ah, aku kembali tersenyum simpul. Tak kukira akan mampir lagi senyum ini di bibirku. Dengan hati yang berbeda tentunya. Maya pun hanya memandangi taman yang menghiasinya. Terdiam.
Ini memang akan kutujukan kepada Putrika Maya. Wanita yang telah menemaniku tepat satu tahun belakangan. Karena pada dasarnya aku memang bingung hendak menghaiahi apa di tanggal bersejarah itu. Akhirnya kuputuskan untuk berkeluh-kesah membuat sebuat hiasan gantung, daripada aku dengan ‘bangganya’ terpaksa membeli haiah untuk orang yang kucinta. Seperti halnya laki-laki lain pada umumnya; bersandar kepada instannya sebuah pemberian dan kemuian melihat orang yang dikasihinya tersenyum gembira. Menurutku aku berbeda dari kebanyakan orang. Dan aku memang merasa telah meninggikan hatiku sesaat untuk beberapa hal seperti itu.
16 September 2007. Akhirnya kuberikan juga hasil tanganku kepadanya. Yak! Aku menerima sebuah senyuman! “Alhamdulillah, seenggaknya gue udah ngasih sesuatu yang gue buat sendiri di satu taunan kita,” gumamku. Ia sedang mengamati hiasan tersebut, tak lama kemuian berkomentar “Kamu kreatif banget siiih!” Sebuah simpul senyum mampir ke bibirku. Sejak kata-kata itu terlontar darinya. Lantas ia menggantungkan hiasan tersebut di langit-langit teras belakang rumahnya. Di depan taman yang cukup luas. Lengkap dengan segala bunga-bunga tropis yang menghiasinya. Namun hanya untuk sementara saja, karena ia akan membawa hiasannya ke Bandung esok harinya. Bahagia pun pelan-pelan masuk menyejukkan hatiku. Ibarat angin semilir yang meniup teriknya siang. Sejuk sekali. Atau seperti anak kecil yang dipuji gurunya atas nilai yang baik. Namun, tak tahu mengapa ada perasaan seakan-akan Maya tidak begitu senang dengan haiah dariku. Namun aku tak mau ambil pusing, mungkin itu hanya ekspresi. Mungkin berbeda di dalamnya. Apa yang ia rasakan, cukup menjadi rahasianya saja.
*** ***
25 April 2008. Aku sedang bermain dengan kucing-kucing kecil di teras itu. Teras yang sama, tempat aku dan Maya biasa bercengkrama. Entah biasanya menunggu makan, mencari angin, bermain dengan kucing-kucing, atau malah hanya ngobrol masalah hubungan yang tidak pernah ada habisnya. Seperti biasa, aku tidak mau iajak ke dalam rumah karena sangat menikmati angin malam yang sejuk. Maya hanya iam saja. Ia tidak berbicara, hanya sesekali bercanda dengan kucing-kucingnya.
Aku melihat hiasan gantung yang kuberi masih tergantung di langit-langit teras. Dengan beberapa perubahan tentunya. Kusam, sedikit berlumut dan terlihat dekil tentunya. Aku tak tahu, mungkin karena sering terkena hujan yang beberapa bulan ini selalu turun dengan buasnya. Warna-warni kerang yang dahulu masih indah sudah mulai pudar. Mungkin jenuh terbasuh air dan debu yang menempel setelah sekian lama tergantung. Kuperhatikan, beberapa lengan kayunya patah. Mungkin karena beban kerangnya tidak seimbang. Maklum aku bukan seniman, melainkan hanya seorang yang sok tahu dan membuat hiasan gantung tanpa dasar apa-apa, hanya niat dan keinginan. Aku miris melihatnya tergantung tidak terurus dan jelas-jelas telah rusak dan kusam. Keikhlasanku diuji, sudah seharusnya pemberian itu dipindahtangankan atas dasar kepercayaan dan kerelaan yang sepenuhnya. Maya hanya iam. Tak bicara untuk beberapa saat, lalu meminta maaf untuk hiasannya. “Yaaaah, maaf ya Lend,” tukasnya. Aku mengangguk dengan isyarat mengiyakan. “There’s more than meets the eye,” menurutku sejujurnya aku tidak perlu menunjukkan apa yang aku rasakan.
Kukira hiasan tersebut sudah ia bawa ke Bandung, di gantung di kamarnya. Diperhatikan setiap hari setiap malam sewaktu-waktu ia rindu atau hanya iseng. Biasanya, jika para wanita merasa kesepian, mereka akan mencoba untuk melihat hal-hal yang unik. Menurutku hiasan gantung kerang tersebut cukuplah untuk mengisi sepinya waktu. Jika tungkai huruf M-nya diputar, maka kerang-kerang tersebut biasanya saling bertumbukan satu sama lain dan mengeluarkan suara Klak! Klak! Klak! Manis sekali, apalagi saat tertiup angin dan berulir dengan sendirinya.
“Udahlah Lend, itu kan cuma impian loe doang!”, kataku dalam hati. Sambil melihat hiasan tersebut tak ubah seperti halnya barang rongsok yang siap masuk tong sampah. Karena hampir tiada artinya lagi, terkecuali karena itu adalah hasil sebuah niat baik. Tampaknya kata-kata hanya ada di permukaan, namun aku yakin jika niat bisa menjadi kenyataan tanpa kata-kata sekalipun. Jika ia mau membawanya ke Bandung, mungkin kondisinya masih lumayan baik sekarang. Setidaknya hiasan itu tidak perlu ‘menderita’ didera angin dan hujan.
Singkat saja kesimpulanku. Inilah arti dari sebuah pemberian. Harus direlakan sepenuhnya dan jangan pernah melihat alasan apapun dibaliknya. Dan inilah juga manusia, penuh pengharapan dan mustahil untuk sepenuhnya menerima. Ah, aku kembali tersenyum simpul. Tak kukira akan mampir lagi senyum ini di bibirku. Dengan hati yang berbeda tentunya. Maya pun hanya memandangi taman yang menghiasinya. Terdiam.
*** ***
1 komentar:
Luar biasa bung lend..
"Give more, expect less..." :)
Posting Komentar