Oo mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu...
Untuk ada disini menemaniku...
- Kekasih Sejati, Yovie Widianto-
Lagu itu selalu ada dalam benaknya. Paling tidak sejak ia nyanyikan atas permintaan seseorang di waktu lalu. Jauh dulu, sebelum segara memisahkan mereka. Sebelum dia berdiri di dermaga tua.
Dengan seluruh tumpah peluhnya, dia tetap menunggu di dermaga itu. Menunggu tiap-tiap kapal yang singgah. Menghitung berapapun penumpang yang naik-turun kapal. Dan dia sadar betul, kalau sebenar-benarnya arti sebuat penantian sangatlah sederhana. Dia harus membawa segenggam kesabaran untuknya. Senja yang kosong menjadi temannya berbagi jua.
Rambutnya yang tebal, lurus dan hitam terlihat tergerai dikais-kais oleh angin timur. Yang dari tadi tak henti-hentinya meniupkan suara baling-baling kapal. Separuh dari wajahnya tertutupi oleh rambutnya. Kemudian seorang bocah memanggilnya. "Dari tadi saya lihat Kakak hanya berdiri di tepian dermaga ini..Apa atau siapakah yang Kakak tunggu?". Dia hanya diam dan tersenyum melihat bocah tersebut. Lalu sang bocah bertanya kembali, "Kenapa Kakak hanya senyum saja?", sambil melihat ke tepian dermaga, ke dasar pantai tepatnya, tempatnya bermain dengan anak-anak yang lain mencari kerang yang biasa dijadikan hiasan gantung oleh penduduk sekitar. Dia kembali tersenyum dan berkata, "Saya menunggu seseorang yang datang atas nama kebahagiaan". Si bocah itu terdiam tak bicara. "Iya, kebahagiaan", ujarnya sekali lagi. Si bocah tidak lagi menghiraukan dan langsung terjun ke air dari pinggir dermaga. Byur! "Inilah kebahagiaanku, bermain dengan teman-teman", kata si bocah. "Aku tak harus menunggu siapapun Kak!". Dia tetap saja tersenyum melihatnya. Dan kembali menunggu.
Alhasil malam pun jatuh di tengah penantiannya. Benar sekali, kapal terakhir telah tiba. Biasanya kapal terakhir tiba tidak lebih dari pukul 7 malam. Atau tepat dimana matahari telah kembali ke peraduannya. "Selayar 1" tertulis di punggung kapalnya. Inilah kapal yang akan menjawab penantiannya. Beberapa awak terlihat sibuk menggotong peti-peti kayu yang ukurannya cukup besar. Dua orang sedang mengikatkan tambang ke tiang pancang dermaga dan yang satu sedang melepaskan jangkar. Satu persatu meninggalkan kapal, hingga terakhir sang nahkoda turun dari dek menggenggam teleskop tua miliknya. Kapal ini ternyata tidak berpenumpang. Sirna sudah laki-laki yang dinantinya. Entahlah laki-laki itu, mungkin hilang ditelan malam. Sirna sudah senyum di wajahnya, yang sedari tadi menghiasi rautnya.
Usai sudah penantiannya untuk hari ini. Esok akan datang membawa hari yang lebih baik untuknya. Paling tidak hanya hal tersebut yang dapat ia percaya. Perlahan-lahan ia melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan dermaga. Sebenarnya dermaga ini pun sudah terlalu tua untuk dijadikan tempat penantian. Terdengar dari bunyi gemeretak kayu-kayunya ketika telapaknya mejejak diantaranya. "Ya, ternyata memang ini dermaga penantian", gumamnya. Bulan telah naik perlahan ke singgasananya, meninggalkan cahayanya kepada bayang sang gadis. Dermaga kali ini tampak terang, berbeda dengan waktu-waktu lalu. Dimana penantian hampir selalu ditutup dengan kegelapan.
Ia pun pada akhirnya berpaling dari dermaga itu. Menelusuri pasir putih yang membatasinya. Menutup hatinya akan penantian untuk malam itu saja. Esok akan kembali menanti dengan berbekalkan kesabaran dan senyuman lagi. Tepat begitu dia mengakhiri niatnya dalam hati, seseorang memanggilnya. "Raya", suara yang sangat dia kenal. Lelaki itu telah tiba. Dari perahu lain, dermaga lain, dengan harapan yang sama. Tiada yang tahu, tiada pernah ada yang tahu. Membawa sepucuk surat untuknya bertuliskan...
Penantian hari ini...
Untukmu. Untuk kita.
Perahu lain akan selalu ada
jika yang lain meninggalkan
Harapan akan selalu tiba
Jika kita tidak pernah meninggalkan
Di sini. Di hati