Senin, 01 Agustus 2011

Matahari Terbit di Tengah Malam

Memasuki bulan suci Ramadhan di tahun 2011, aku merasakan kenikmatan lain yang diberikan Tuhan. Tahun ini aku dapat menghabiskan sebagian besar hari-hariku berpuasa di Jakarta. Di tempat paling nyaman yang pernah ada. Rumah tercinta. Bersama adik, kakak sepupu dan 'mbak si juara masak rumahan yang masakannya tidak pernah mengecewakan. Orangtuaku tinggal di Denpasar, Bali sehingga waktu mereka sangat terbatas untuk sekedar sahur atau berbuka bersama anak-anaknya di Jakarta.

Memulai Ramadhan di Jakarta bukan merupakan hal yang spesial bagi kebanyakan orang, tetapi tidak bagiku. Aku telah menghabiskan tiga tahun berpuasa di Bandung ketika masih kuliah. Setelah itu dilanjutkan dengan satu kali Ramadhan di kota Medan, Sumatera Utara. Lalu dua kali Ramadhan di pulau Batam, Kepulauan Riau. Sekitar enam tahun lamanya aku meninggalkan indahnya Ramadhan di Jakarta dan sebagian besar dari waktu tersebut aku habiskan sebagian besar waktuku sendirian. Terdengar remeh bukan? Tapi itulah yang kurasakan.

Sejujurnya pengalaman melewatkan Ramadhan di kota orang memang terasa sangat berbeda. Hampir dari seluruh keperluannya kita siapkan sendiri. Sebut saja, sahur, berbuka puasa, shalat tarawih, shalat lima waktu, dan sebagian aktivitas lainnya sudah biasa kulakukan sendirian. Dalam arti, benar-benar sendirian. Harus kuakui bahwa melewatkan sebulan penuh seperti itu memang sangat mengedepankan egoisme pribadi. Namun dalam arti yang positif. Aku dapat membuat suasana menjadi jauh lebih kondusif untuk beribadah. Tetapi sebaliknya, aku jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat.

Ya, inilah aku sekarang! Kembali berpuasa Ramadhan di Jakarta. Walaupun demikian, sepertinya aku tidak akan dapat menghabiskan tiga puluh hari Ramadhan tahun ini di Jakarta. Di antara sepuluh hari terakhir Ramadhan, aku akan meninggalkan Jakarta untuk melanjutkan studi S2 di kota Tilburg, Belanda. Sebuah pilihan hidup yang sudah kurencanakan beberapa bulan belakangan. Maka dari itu, aku mencoba untuk menikmati hari-hari berpuasa terakhir di Jakarta ini sebelum memulai perjalanan hidup yang lain.


*** *** ***


Beberapa hari sebelum hilal Ramadhan terlihat di angkasa, aku banyak bicara dengan salah seorang teman baik. Seorang perempuan. Sebut saja namanya Rhea. Dia adalah salah satu orang dalam hidupku yang kuanggap cukup beruntung untuk dapat berjalan beriringan dengan passion-nya. Olahraga. Dia bekerja di salah satu stasiun TV nasional. Berburu berita di seputaran Jakarta terutama mengenai olahraga. Di beberapa kesempatan Rhea membawakan acara berita olahraga dini hari. Di saat kebanyakan orang sudah tertidur larut, aku sering terjebak pada channel hanya untuk menyaksikan temanku yang satu ini bicara begitu teratur dengan gaya sedikit informal.

Belakangan ini kami cukup sering bertukar pikiran soal pekerjaan, cita-cita, keluarga, ataupun masa depan. Terkadang kita bicara mengenai hal-hal remeh. Terkadang kita saling melempar keluh kesah sepanjang jalan dari Kuningan ke Bekasi Barat. Sometimes we talked about random things as we also did random things.

Hari Kamis, 28 Juli 2011, kita sempat menyaksikan pertandingan sepakbola antara tim Garuda Merah Putih kesayangan rakyat melawan Turkmenistan di stadion utama Gelora Bung Karno. Tim nasional menang dengan skor 4 -3. Rhea sangat melek informasi terkini mengenai timnas, karena pekerjaannya banyak berkutat dengan kasus reorganisasi PSSI saat ini. Kita bersorak-sorai bersama sambil sesekali meneriakkan nama-nama pemain timnas entah itu Boaz, Bustomi, Firman Utina...siapapun itu. Bangga rasanya menjadi bagian dari lautan kostum merah di 80.000 kursi penonton di stadion utama.

Dua hari kemudian kita menyempatkan diri main basket bersama di STC Senayan bersama sekitar dua puluh teman lainnya. Kemudian sempat makan siang dan lanjut karaokean di malam harinya. Menyanyikan lagu-lagu aneh. Random! Kali ini sesi ketawa sedikit bergeser tempat dari Senayan ke Bekasi Barat. Pernah terpikir bahwa mungkin ini menjadi kesempatan terakhir untuk dapat menghabiskan waktu dengannya sebelum keberangkatanku ke Belanda.

Jarum jam sedang berhenti di 11.30. Malam pun semakin larut dan aku berpamitan untuk pulang setelahguyonan lepas sepanjang 13 kilometer jalan tol. Sejenak setelah aku tiba di rumah, kita melanjutkan obrolan di teks BlackBerry messenger. Tiba-tiba saja kami saling melepas hati sehingga dia mengetahui apa yang ada di balik pandangan seorang Nalendra. Begitupun juga sebaliknya. Terlalu cepat, terlalu jujur. Logika sempat meninggalkanku sesaat. Seperti pemain sepakbola yang dihantam bola tendangan lawan. Gelap dan hilang arah. Begitu spontan. Aku menjadi linglung apakah hal-hal yang kulakukan ini berujung kepada kesalahan dan ketidakjelasan atau malah sebaliknya. Sesaat aku ibarat air bah yang tidak terbendung lagi oleh dam. Mengalir deras tanpa kontrol. Mengalir kemanapun aku suka ke ceruk-ceruk kecil di hati seorang hawa. Malam itu rasanya begitu terang. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang biasa kuhabiskan sendirian di kamar sambil menonton tayangan National Geographic Wild berkali-kali.


*** *** ***


Dalam waktu dekat aku akan meninggalkan Jakarta dan menuju Tilburg. Kembali lagi hidup berjauhan dengan keluarga, teman-teman, dan suasana Ramadhan yang begitu khidmat di Indonesia. Mungkin kembali bersendiri. Aku tidak tahu pasti. Hari ini tanggal 2 Agustus 2011, keberangkatanku semakin dekat untuk melewati Lebaran di negeri yang dingin. Beribu-ribu kilometer dari Jakarta. Terutama dari Rhea.

Ini adalah Ramadhan yang hangat sekaligus dingin di waktu yang bersamaan. Hangat akan suasana ibadah yang menyelimuti kota Jakarta dan dingin akan suasana hati yang akan segera meninggalkan 'kediamannya'. Hidup memang aneh tetapi setidaknya, aku masih dapat menjalani sebagian malam Ramadhan ke depan untuk berbicara dengan seseorang yang telah memperlihatkan sekelumit perasaannya.

Lama-kelamaan aku merasa seperti melihat matahari perlahan-lahan bangun dari tidurnya dan terbit di tengah malam. Matahari yang senantiasa menghangatkan pagi, sekarang tiba menghangatkan malam. Bersamaan dengan obrolanku dengan Rhea. Matahari yang terbit dan terbenam lebih cepat dari biasanya. Matahari yang mampir kemari disela-sela waktu sahur. Aku pun tahu, waktu terbenamnya matahari tengah malamku akan datang beberapa saat setelah adzan shalat Fajar dikumandangkan. Tak lama kemudian, terbitlah matahari lain yang siap untuk menyinari dunia. Lebih terik, lebih terang. Tetapi tidak lebih hangat dari yang baru saja tenggelam. Sungguh aku tak percaya bahwa sekarang aku bercerita tentang perasaan. Sesuatu yang sempat kuabaikan sementara waktu.

Jakarta sekarang kembali berlari. Menyambut hari lain di Ramadhan kini. Lantas kita saling bersapa lagi. Selamat pagi.

Tidak ada komentar: