Rabu, 02 Februari 2011

Lukisan

Pada suatu pagi ada seorang tua yang sedang menorehkan kuasnya pada sehelai kanvas putih. Dia adalah pelukis kenamaan yang cukup dikenal karena karya-karyanya yang bealiran realis. Tidak pernah seumur-umur ia memamerkan hasil-hasil karyanya dengan alasan bahwa lukisan bukanlah kesempatan bagi publik untuk menyanjung seseorang. Begitulah idealisme yang dia pegang. Momen yang paling dia takutnya adalah ketika naik-turunnya harkat dan martabat hanya ditentukan oleh pendapat publik yang mengonsumsi keindahan karya-karyanya, seperti yang dia perhatikan terjadi pada para seniman lokal yang terkemuka. Beberapa tahun belakangan ini, pemburu seni tidak sengaja menemukan karya-karyanya yang dia simpan di salah satu gubuk tua, tempat anak-anak asuhnya bertempat tinggal.

Baginya, seni tak lebih dari obat bagi hati yang sudah terlalu lelah akan indahnya dunia. Lukisan pun menjadi caranya berbicara. Panjang janggutnya, tambun badannya, sedikit sekali tutur katanya dan alangkah ringan jari-jarinya menggoreskan kuas di atas kanvas. Dia tak pernah memakai topi seperti pelukis-pelukis pada umumnya dan sebatang rokok pun tak pernah sekalipun hinggap di bibirnya. Sudah bertahun-tahun dia menghabiskan waktunya untuk duduk di atas kursi pendek beralas kain perca dan belacu.

Cat merah, jingga dan kelabu ia baurkan sedikit demi sedikit. Dia menarik kuasnya dari ujung kiri atas ke kanan bawah kanvas dengan tegasnya. Itu adalah semburat warna langit yang menggelora karena saat itu seluruh manusia bersatu untuk memerangi tirani. Warna-warna kelam memperhalus sosok-sosok manusia di kanvas tersebut. Sosok-sosok yang berlari di jalan raya seakan-akan menerpa angin dan tidak pernah membelakangi nasib. Manusia yang tumpah ruah ke jalan-jalan, seumpama bulir-bulir padi yang dituangkan ke dalam wajan. Berserak dan bergerak. Lalu, dia mainkan kuas-kuas kecilnya yang membawa warna-warna solid black dan broken white, membentuk aura pengepungan sejumlah manusia dalam lingkaran manusia lainnya. Melukiskan tak akan ada lagi perlawanan setelah ini karena sebagian dari mereka akan menyerah dalam waktu dekat. Kemudian sang pelukis memercikkan ujung kuas kecilnya ke kanvas, cat-cat merah dan pale yellow yang tampak seperti rasi-rasi bintang diatas kepala manusia. Seperti melambangkan amarah yang telah membobol tiap-tiap kepala manusia yang mengepung sejumput manusia lainnya dan akan berakhir pada hilangnya tubuh mereka dari tanah tempat mereka berpijak. Langit yang dia lukiskan berwarna ungu violet dan dihiasi oleh awan kelabu yang berulis di beberapa tempat. Tampaknya hujan –yang sering diartikan sebagai berkah dari Tuhan- tidak akan pernah lagi turun membasahi tanah tersebut. Jalan-jalannya berbongkah-bongkah tak terurus dan berkerak seperti baru saja dihantam gempa bumi. Langkah-langkah manusia yang mengepung sepertinya terlalu kuat bagi jalan tersebut. Tapak-tapak yang berat dan sangat berdaya.

Wajah sang pelukis merah padam saat berhenti sejenak dari menarikan kuasnya. Dia mengambil beberapa nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Kemudian dia menatap kilauan cahaya yang menerobos sela-sela daun pohon Angsana di muka terasnya. Dia ingin mengabadikan peristiwa itu dalam bentuk lain. Ia mencungkil acrylic kuning dan putih terang dengan pangkal kuas yang berbentuk seperti ujung sumpit. Mengkerucut dan terlihat seperti mata pensil dari jauh. Ia menggoreskan kilatan-kilatan cahaya dari awan-awan kelabunya. Dari jauh akan terlihat seperti jarum-jarum diantara tumpukan debu yang terkena sinar dan berkilauan. Cahaya-cahaya dari langit adalah awal mula diturunkannya kemenangan atas suatu kaum. Tenaga bagi mereka yang pernah hilang kekuatannya dan pencerahan bagi mereka yang hatinya pernah dikungkung rasa takut yang luar biasa. Sang pelukis seakan-akan adalah bagian dari mereka yang berlarian mengepung kaum-kaum yang semestinya disisihkan. Tidak ada rona-rona kekalahan dari apa yang dilukiskannya baik bagi sekelompok manusia yang dikepung, maupun mereka yang siap menghabisi. Tidak jelas mana korban dan mana pemangsa. Seperti pertarungan antara garangan dan ular kobra. Yang menang akan menjadi pemangsa, sedangkan yang kalah adalah korban. Itulah visualisasi yang diharapkan oleh sang pelukis. Tidak ada satu pun senjata yang dilukiskan oleh kuasnya. Itu adalah pengepungan tanpa senjata sehingga tidak ada warna-warna merah darah yang dilukiskan. Dia membenci peperangan yang berdarah-darah, yang kemenangan berarti harus menghabisi segala yang ada. Atau mengurangi jumlah oposan sehingga pertempuran dapat dimenangkan akibat salah satu pihak kalah jumlah.

Jika diperhatikan, maka akan terbaca pesan-pesan yang akan disampaikan oleh sang pelukis. Dari goresan kuasnya akan terlihat sangat kontras, sebab seorang yang sangat halus perangainya sedang menggambarkan perseteruan. Padahal dia sendiri tidak pernah mendukung perselisihan dalam bentuk apapun. Namun jika berkata soal keadilan, maka pelukis tersebut adalah orang yang paling lantang berbicara. Walaupun sebagian besar kata-katanya dituangkan diatas kanvas.

*** **** ***

Hidup tak selamanya adil dan menyenangkan. Apalah artinya sebuah lukisan jika tidak pernah ada seorangpun yang menikmatinya. Maka tidak akan ada yang berkata indah atau buruk. Begitu juga dengan realita dimana banyak kejadian yang sangat menyalahi nilai-nilai untuk saling melindungi dan tergantikan oleh buasnya penindasan-penindasan di muka bumi. Apalah artinya peristiwa jika tak ada seorang pun yang berniat untuk mengubahnya. Itulah sifat-sifat linear dari ketamakan manusia. Penindasan tidak akan pernah berhenti jika benteng pelindung tidak pernah didirikan. Mereka yang terlanjur berfoya-berfoya menindas kaum yang lain akan seyogyanya merasakan apa yang mereka lalukan. Seperti kaidah hukum kausalitas yang paling sederhana, ada sebab ada akibat, ada akibat maka akan teciptalah sebab-sebab yang lain dan bernilai ganda atau dua kali lebih kuat sebabnya dibanding sebelumnya. Rumit memang dan sangat tidak logis. Tetapi itulah yang digambarkan oleh sang pelukis.

Dia tiba-tiba memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Surealis, kata orang. Ibarat musik, dia akan berubah dari pianis klasik, menjadi pianis yang bernada-nada minor dan terkesan menghantui semua pendengarnya. Nada-nadanya terdengar sumbang namun harmonis jika dijadikan sebuah lagu. Sekarang ia melukiskan tangan-tangan yang berjatuhan dari langit seperti hujan. Hujan telapak tangan terikat tali-tali yang ujungnya berada di balik langit. Telapak-telapak tangan yang halus permukaannya. Tidak jelas siapa yang menjulurkan. Apakah itu tangan yang diturunkan oleh malaikat-malaikat utusan Tuhan atau memang orang-orang yang lebih dulu meninggalkan dan ingin membantu mereka yang mengepung kaum yang lain, tidak ada yang dapat mengerti.

Sebuah kejanggalan akan terlihat dari kaum yang terkepung. Mereka yang berada di dalam lingkaran dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Di tangan-tangan mereka akan terlihat kepala-kepala yang pernah mereka penggal dahulu kala. Sebagian telah menjadi tengkorak dimakan usia dan sebagian seperti masih segar berteteskan darah. Beberapa diantara mereka terlihat membawa kain-kain hitam yang menutupi kepala-kepala tersebut. Seperti menyembunyikan kekejaman yang mengisi masa lalu kaum tersebut sebelum dilakukan pengepungan. Pelukis tersebut menggoreskan kuasnya seakan-akan menggambarkan gunung yang runtuh berbongkah-bongkah. Diatas gunung tersebut dilukiskannya warna langit yang terang benderang diantara kelabunya awan-awan. Kontras. Seperti halnya saat kita melihat purnama di langit malam yang kelam. Sebuah bendera bergaris pinggir heksagonal dan berbintang biru terlihat compang-camping dan melayang dari puncak gunung tersebut. Bendera yang didasari warna putih raksasa itu jatuh melambai-lambai. Bagian kanan bawahnya telah habis terbakar dan api masih akan merambah hingga menghabiskan seluruh bagiannya sehingga bendera tersebut tidak akan pernah dikibarkan lagi di waktu-waktu kedepan.

Mereka terkepung oleh sejumlah manusia yang lebih besar karena mereka pernah menggunakan nama Tuhan untuk menghabisi ras-ras lain. Sang pelukis menorehkan beragam warna kulit diantara kaum-kaum yang berlari mengepung. Putih pucat, hitam legam, coklat sawo, putih kemerah-merahan, coklat tua berbinar-binar dan seluruhnya beragam. Seperti segala perwakilan bangsa seluruh penjuru dunia bersatu padu memerangi kemuslihatan. Mereka sudah muak dengan manipulasi-manipulasi yang memenggal hak-hak bangsa lain. Ketika sang pelukis mengoleskan kuasnya pada kanvas, dia berkata pelan “…Magna Charta”. Kemudian dia melukiskan sekelompok besar burung yang tidak bersayap namun tetap terbang bertiupkan angin. Wingless and as free as a wind. Burung-burung tersebut adalah representasi kaum pilihan yang ditakdirkan untuk bebas walaupun tidak memiliki kemampuan dasar untuk terbang, seperti yang tertulis dalam Magna Charta, kebebasan adalah hak setiap bangsa. Sudah semestinya takdir harus diubah karena tidak sepenuhnya takdir menjadi sesuatu yang statis. Manusia mempunyai kodrat untuk mengubah takdir, seperti nomenklatur yang telah tertera di salah satu surat di kitab suci umat Islam Al Qur’anul Karim. Pengubahan takdir itu sendiri adalah takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Sang pelukis pun sangat mengerti apa itu takdir dan dia sangat meyakini takdir.

Sang pelukis mengambil kuas terakhir yang masih bersih belum terkena satu pun cat. Setelah itu dia mengambil setuba cat putih. Akhirnya dia meletakkan kuasnya pada secanggkir penuh air, sehingga cat putih tersebut memendar terlarut air. Sepertinya dia baru saja menyudahi lukisannya. Adzan pun bersahut-sahutan di udara tanda bahwa waktu Zuhur telah tiba. Sang pelukis meninggalkan kanvas beserta kuasnya di teras dan bergegas untuk mengambil wudhu untuk shalat. Dia baru saja menggoreskan sesuatu bertuliskan huruf sambung yang terbaca; Hail Palestine, Peace for Palestine.

Tidak ada komentar: