Kamis, 03 Februari 2011

Akhirnya tiba saatnya aku harus meninggalkan medan perantauan setelah menghabiskan 2 tahun 5 bulan di Sumatera. Babak baru kehidupan akan dimulai seiring dengan langkahku meninggalkan Pulau Batam, sebagai tempat terlama aku menghabiskan masa kerjaku di wilayah Sumatera. Aku terus mengingat-ingat setiap detail kehidupanku disana, namun rasanya seperti terlalu banyak hal yang dapat dituliskan.


**** **** ****


Sebelumnya aku pernah menetap di beberapa lokasi kerja yang berbeda. Medan adalah kota pertama aku menginjakkan kaki di Sumatera. Tepatnya 1 September 2008, pesawat Garuda Boeing 737-400 yang kutumpangi mendarat di lapangan udara Polonia, Medan. Saat itu bertepatan dengan hari pertama bulan Ramadhan. Menghabiskan bulan-bulan pertama di tanah orang dalam keadaan berpuasa memberikan kesan yang mendalam di benakku. Sepertinya Tuhan ingin memberikan aku waktu khusus untuk introspeksi diri dalam keadaan yang hampir benar-benar sendiri. Jauh dari keluarga dan para sahabat.

Beberapa hari setelah Lebaran tiba, aku bertugas ke wilayah Pematang Siantar. Sebuah kota kecil yang jarak tempuhnya sekitar 3 jam dari kota Medan. Kota tersebut berlokasi dekat objek wisata kebanggaan Sumatera Utara, yaitu Danau Toba. Aku melalui beberapa kota kecil di perjalanan ke Siantar seperti Lubuk Pakam dan Tebing Tinggi. Udara Siantar dingin dan tampilannya terlihat seperti kota tua dengan bangunan-bangunan lamanya yang masih berdiri kokoh. Mirip dengan Medan, kota tersebut memiliki moda transportasi umum yang khas yaitu Betor (Becak Motor). Kendaraan ini sangat khas, motor yang memiliki tempat duduk khusus penumpang yang ditempelkan langsung ke sepeda motornya. Yang membedakan Betor Siantar dengan Medan adalah unit motornya yang menggunakan British Small Arm (BSA) alias motor lama pabrikan Inggris yang dulu digunakan sebagai kendaraan perang. Dari kejauhan, deru suaranya seperti Harley Davidson.

Buatku pribadi, Medan adalah kota yang ditunjuk Tuhan untukku berbenah diri. Kota introspeksi. Kota tanpa keluarga. Kota lahirnya sahabat-sahabat baru. Singkat kata, aku menghabiskan sekitar dua bulan di wilayah Sumatera Utara dan ngekos di kota terbesar ke-3 di Indonesia ini.



**** ***** *****


Kemudian Ramadhan telah satu bulan berlalu dan aku diberikan amanah untuk ditempatkan di salah satu pulau terluar di wilayah timur Pulau Sumatera. Sebuah pulau antah-berantah yang bernama Tanjung Balai Karimun yang belum pernah sekalipun aku mendengar namanya seumur hidup. Pulau tersebut ditempuh dengan menggunakan pesawat tujuan Medan - Batam. Setelah itu dilanjutkan dengan perjalanan darat ke arah pelabuhan Sekupang, Batam. Lalu dijangkau via laut dengan kapal ferry selama satu setengah jam langsung ke pulau tersebut. Singkat kata, udara darat dan laut.

Pulau tersebut sangat kecil. Jarak terpanjang dari ujung ke ujung hanya 18 kilometer. Tanjung Balai Karimun dikelilingi oleh puluhan pulau-pulau kecil. Sebut saja Pulau Buru, Pulau Kundur, Pulau Sugibawah, Pulau Durai, dll. Kehidupan di pulau itu begitu sederhana. Tidak banyak hal-hal mewah yang ada. Mobilitas mayoritas penduduknya adalah motor dan kapal. Berpindah dari satu pulau ke pulau lain dalam satu hari adalah hal yang lumrah.

Selama masa kerjaku, beberapa kali aku melakukan perjalanan dinas ke pulau-pulau terluar dan wilayah-wilayah terpencil. Di kepalaku terpatri nama-nama tempat yang kurasa tidak diketahui kebanyakan orang. Tanjung Batu, Moro, Sei Guntung, Urung, Sawang, Selat Beliah, Meral, Tebing dan tempat-tempat lainnya. Wilayah Moro pernah kutuliskan di salah satu tulisanku. Oko Moro judulnya.

Aku menghabiskan waktu sekitar lima bulan di Tanjung Balai Karimun dan selama masa tugasku aku bertemu dengan begitu banyak sosok-sosok sahabat yang terlalu banyak untuk kusebutkan. Bagiku, mereka adalah figur-figur survivor yang berhasil membangun pribadi yang lebih baik. Figur-figur yang lolos dari lubang kenyamanan dan akhirnya dapat bersahabat baik dengan kesederhanaan. Sosok-Sosok yang selalu berbesar hati untuk merelakan dirinya ditempatkan di salah satu pelosok Sumatera yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang.

Aku ingat betul seperti apa rasanya menjelajahi pulau-pulau terluar Indonesia. Hilir mudik antar pulau dengan menggunakan kapal-kapal penghubung. Memandangi pesona laut di sekitar Tanjung Balai Karimun yang tampak sedikit menguning akibat dari banyaknya kandungan lumpur kuning di dasarnya. Di pesisir-pesisir pantainya masih banyak rumah-rumah penduduk beratapkan pelepah-pelepah daun. Sepanjang perjalanan menggunakan kapal ferry dari pelabuhan Karimun ke pelabuhan Tanjung Batu, aku melewati puluhan pulau kecil dengan vegetasi mangrove yang tumbuh secara alami. Di beberapa pulau terlihat tambak kecil buatan nelayan setempat untuk membiakkan ikan laut. Terkadang kapal yang kutumpangi berpapasan dengan kapal lain dan para penumpangnya saling melambaikan tangan.

Singkat kata, aku menghabiskan waktu sekitar lima bulan di kepulauan ini, sebelum aku kembali ditugaskan ke lokasi lain. Aku mendapatkan pengalaman yang begitu berharga selama menjalani masa penugasan ini dan hidupku berlanjut untuk ditempatkan di kota utama propinsi Kepulauan Riau ini yaitu Batam.

..bersambung...




Tidak ada komentar: