Rabu, 02 Februari 2011

Cerita Seorang Pekerja Kesepian

Jumat, 12 Maret 2010, pukul 22.45 WIB. Kurasa aku berangsur-angsur berevolusi menjadi zombie. Tubuhku kuyu kerontang, seperti jagung yang bonggolnya habis dirampas wereng-wereng yang bergerilya. Mataku mencekung dan terlihat berkantung. Jalanku sempoyongan dan terasa seperti gravitasi semakin menarik magnet-magnet di tubuhku. Di dalam gelapnya ruang kerjaku, hanya terdengar suara klik-klak dari jari-jariku yang tak pernah bisa berhenti mengetik. Aku tidak peduli lagi akan waktu dan aku kehabisan kata-kata untuk dituturkan kepada siapapun. Aku sadar bahwa ritme hidup normalku mulai melepaskan diri dari pemiliknya. Di komputerku mengalun hide and seek, Imogene Heap. Di kegelapan aku duduk termangu dan ribuan angka dan grafik beterbangan di kepalaku. Ruangan ini terlalu sunyi untuk membangkitkan adrenalinku. Terlalu kelabu bagi seorang pekerja larut.


*** ooo ***


Aku masih bertempur dengan kekosongan batin. Pandanganku nanar dan bibirku yang memucat sedikit ternoda dengan bercak-bercak kopi hitam yang seharian kuteguk. Layar komputer berubah menjadi biru dan berangsur-angsur memudar. Aku seakan-akan melihat diriku sendiri duduk di meja kerjaku, dengan kepala yang telah lunglai bersandar pada punggung kursi.

Lalu aku terbang jauh ke suatu tempat. Melesat disela-sela kumuhnya pemukiman Bantar Gebang, menerobos kepungan ribuan motor yang berderu di jalan raya Cawang, mendengar sumbangnya suara para pengamen di pertigaan Hayam Wuruk, menapaki satu persatu marka jalan di Pondok Indah, dan memperhatikan kerlip lampu kota dan gedung-gedung tinggi Sudirman. Begitu cepat dan bergejolak. Aku melihat Jakarta.

Di ujung Pasar Jembatan Merah di Casablanca, seorang Ibu menggendong putrinya yang menangis karena seharian terjemur teriknya kota. Di tepian Situgintung sekumpulan anak berkecipak di bekas-bekas tanggul yang telah roboh. Mereka berlarian dan berkejaran. Jauh di ketinggian lantai 35 gedung perkantoran Thamrin, seorang profesional muda luluh lantak dimaki habis oleh atasannya –hanya karena salah mengambil keputusan yang merugikan perusahaan Rp 1.2 miliar. Aku berpindah ke pelataran Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, ratusan pasien berteduh dibawah aula RS demi antrian pembayaran obat yang loketnya masih tutup di pukul 13.30 siang. Seorang apoteker senior sedang mengatur subordinatnya menyusun rincian obat untuk didistribusikan kepada bagian inventory. Esok hari sebanyak 12 pasien akan menjalani operasi. Lantas aku melesat jauh meninggalkan kota dan tiba di keramaian bandar udara. Calo-calo berdesakan menawarkan tiket murah bagi seorang calon penumpang yang mengejar jadwal pesawat ke Makassar –istrinya sedang dirundung duka sepeninggal ayahnya yang mati kemarin sore.

Aku masih bergumul dengan kehampaan relung-relung jiwa. Seakan-akan hidup adalah tabung kedap udara dan aku terjebak di dalamnya menyaksikan segala kehidupan bergerak secepat udara.

Seorang kernet memanggil-manggil penumpang di antara jalan raya Kampung Melayu-Pondok Bambu, beberapa detik kemudian dia terjatuh dan dihantam motor dari samping. Tanah-tanah gersang di pemakaman umum Casablanca terlihat sedikit menghijau setelah direnovasi oleh Pemkot, dinding-dindingnya coklat terang setelah di cat, tidak sekusam dulu. Beberapa keluarga mengelilingi makam seorang tokoh masyarakat yang baru saja wafat karena kanker paru-paru, mereka semua mengenakan pakaian hitam. Salah seorang perempuan tersedu-sedu hingga tak sadarkan diri. Kukira ia adalah puterinya.

Tampak warung-warung makan pinggir jalan Barito sedang diruntuhkan oleh Satpol PP. Mungkin ada sekitar 20 bangunan liar dengan puluhan pekerjanya terhenyak melihat lumbung rejekinya dibongkar habis. Beberapa diantaranya bertolak pinggang dengan sejuta mimik kecewa yang berubah-ubah. Lalu secara tiba-tiba matahari kembali ke peraduannya dan terbitlah malam diatas Jakarta. Aku melihat bayangku menghilang dalam sepersekian detik dan matahari tadi seperti bohlam yang dimatikan oleh pemiliknya. Jutaan lampu kuning-merah berhamburan di tol dalam kota. Mereka bergerak dengan dua arah yang berlawanan. Di beberapa cabang jalan terlihat antrian mobil. Dengan raut wajah seperti serigala beringas yang sudah tidak makan seminggu.

Aku jalan terus ke pelosok Jakarta. Kadang aku melayang-layang diatas kerlipan lampu kotanya, kemudian jatuh ke kolong jembatan tergelap di Gunung Sahari. Sekelilingku memerah ketika kusadari aku berada di dalam gelas wine dan aku mengintip dari sela-sela jarinya yang memegang gelas tersebut. Puluhan lampu sorot nyala-padam dan sejumlah komunitas socialite menjulur-julurkan tangannya ke udara, digoyang dentuman soundsystem yang tiada berhenti berteriak semalaman. Aku berada di Embassy. Aku tidak suka ruangan itu.

Lantas hening jatuh di tengah ruangan. Hening. Sunyi. Aku tiada mendengar sedenting pun suara musik. Sekelilingku putih pasi. Kutolehkan kepalaku dan kupasang telingaku baik-baik. Tetap sunyi. Aku tiada berhenti bertanya-tanya hingga kudengar degupan lembut dari detak jantung seseorang. Detaknya tidak beraturan. Kadang cepat kadang lambat. Situasinya tidak terjelaskan. Lambat laun tubuhku seperti melayang ke udara dan aku keluar dari ulu hati seorang kakek yang sedang tidur di atas sebuah peti kayu tepat di depan sebuah WC umum. Ruangan WC tersebut begitu tertutup dan dikelilingi oleh lorong-lorong panjang yang berbilik-bilik tidak beraturan. Udara disini luar biasa panasnya. Pengap dan kulit terasa berkerak. Aku terus berjalan menelusuri lorong-lorong gelap itu dan tiba di hadapan balkon yang menghadap ke jalan raya. Cahaya memendar seketika. Ternyata aku berada di salah satu pusat perbelanjaan barang bekas yang sedang tutup di Kota. Kendaraan tampak berlalu-lalang dengan seorang polantas yang sedang memberhentikan bus karena puluhan siswa SMU bertumpukan menggelayut di pintu depan dan belakang.

Aku tidak mengerti. Apakah aku sudah mati? Mengapa aku dapat berpindah pada ruang dan waktu yang berbeda dalam sekejap. Apakah aku telah menghantu? Bergentayangan dan penasaran mengitari kota Jakarta yang sedemikian luas dan buas. Aku melintas dari cahaya ke cahaya, detik ke detik, ruang ke ruang. Namun Aku tidak melihat seorang dari mereka, yang tersayang. Kemanakah aku harus mencari? Aku ingin kembali pulang dan berpelukan dengan mereka yang kusebut keluarga, sahabat atau malah dia yang telah pergi beberapa bulan silam. Tetapi tubuhku ibarat diperintahkan oleh udara untuk bergerak dengan sendirinya. Mungkin inilah yang dinamakan tubuh halus. Zat yang tidak dapat menentang apapun. Perilakunya hanya bergerak diperintahkan oleh akal yang tidak jelas sedang berapa dimana. Rasanya seperti kelu beku. Aku masih dapat berfikir dan bertanya, namun kehilangan kemampuan untuk mengendalikan segala yang kupunya kecuali rasa. Seluruh peristiwanya masih dapat kurasakan. Aku tidak mengerti.


*** ooo ***


Aku melihat kertas putih bersama pena yang tintanya sudah berleleran kemana-mana. Pandanganku masih buram. Kuangkat kepalaku dari meja kerja yang sudah tiada lagi berada di sandaran kursi. Kuraba pipi kananku yang mati rasa, seperti dibius rasanya. Suara bising lembut komputer mengiang. Aku melihat segalanya lagi. Kalender bertuliskan jadwal meeting, cangkir kopi yang biasa ditaruh di sudut kanan meja, telepon yang biasanya berdering tiada henti, pemantik, rak-rak dokumen dan tempelan kertas yang bertuliskan lirik Home, Michael Buble seluruhnya masih bergeletakan di mejaku. Aku masih di ruangan kerjaku. Jarum jam menunjuk 05.10 WIB. Aku bingung, kemana muadzin yang bisa melantunkan adzan? Sudah pergikah ia? Kalender menunjuk hari Sabtu. Semestinya tidak akan ada seorang pun yang berjaga di kantor sedini ini. Lantas aku berdiri, kuambil tas selempangku dan kubenahi beberapa bagian kemejaku yang lecek. Sewaktu aku membenahi kantongku, aku menemukan secarik kertas lusuh yang menguning karena kelamaan tertiupkan asap rokok. Kubuka setiap lipatan kertas dan terbaca beberapa bait tulisan.


Seperti pepohonan yang diterpa angin semalaman
dan koyaknya daun-daun yang tiada lagi bertuan
Menggeruskan tubuh yang kelu beku
Hanya beberapa waktu saja, berhenti riam-riam nadi

Dulu bingar pernah mampir kemari
Membawa teman atas nama cinta dan asa
Melepuhkan noda-noda masa lalu, derita lalu
seperti hujan yang menghapuskan jejak-jejak langkah, malam itu

Setelah dilontarkan janji-janji,
yang membuat malam menerbitkan hari
Hidup menjadi sebenar-benarnya arti
Dan cahaya tak lagi berani untuk melari

Nada-nada ditinggalkan
Kursi-kursi kosong sudah
Dia. Menghilang dipelataran kata-kata, janji-janji
Kepercayaan. Tiada lagi


Aku sudah tidak pernah lagi menulis dalam jangka waktu 6 bulan terakhir. Siapakah yang menuliskan bait-bait ini? Begitu lama kuperhatikan huruf per huruf, kata per kata, aku tak mengerti. This is totally nonsense. Beberapa bayangan tentang mereka-yang pernah menghidupkan masa lalu- mampir ke otakku. Sekelebat-sekelebat, berseliweran. Seperti aliran listrik sedang bergejolak di kepalaku, membentur-bentur tempurung kepala karena ingin keluar. Rasanya ingin menuliskah seluruh yang kurasakan pada secarik kertas. Tapi aku tak peduli. Aku bergegas meninggalkan bangunan ini. Aku ingin terbang melihat langit Jakarta sekali lagi. Selamat tinggal.

Tidak ada komentar: