Rabu, 13 Juli 2011

Tentang Ekonomi Hijau

Kemarin malam saya menghadiri acara peluncuran buku Ekonomi Hijau. Ini adalah buku yang mengulas tentang paradigma baru di dunia ekonomi yang mengedepankan kelangsungan lingkungan hidup (ekologi). Tidak seperti paham ekonomi saat ini yaitu kapitalisme yang menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan dan penurunan kualitas hidup ekosistem bumi. 

Dua dari tiga penulis buku tersebut adalah dekan dan tutor saya sewaktu kuliah di ITB. Mereka adalah Prof. Dr. Ir Surna Tjahja Djajadiningrat (Pak Naya) dan Melia Famiola Ph.D. Bagi saya, mereka itu orang-orang hebat. Apalagi Pak Naya yang sudah berumur lebih dari tiga perempat abad namun sepak terjangnya masih kenceng.

Tulisan ini bukan resensi buku Ekonomi Hijau. Ini hanya pandangan sederhana yang saya rasakan tentang isu-isu dibalik pemikiran mengenai paham ekonomi berbasiskan keberlangsungan lingkungan hidup. Tidak serta-merta karena membaca buku ini. 

Menurut saya, teori ekonomi yang saat ini menguasai dunia telah mengakibatkan kerusakan besar-besaran di bumi. Semakin banyak permintaan pasar, semakin banyak pula persediaan barang/jasa yang harus disiapkan. Ketika permintaan terhadap suatu barang itu tumbuh hingga meledak tidak terkendali, maka dampaknya adalah arus produksi persediaan barang yang mayoritas diambil dari kekayaan alam dalam jumlah besar. Batas-batas eksploitasi pun diakalin sehingga suatu perusahaan dapat mengeruk kekayaan alam dalam jumlah yang hampir tidak terbatas. Seringkali berkedok over-demand atau alasan untuk memenuhi permintaan yang semakin tinggi. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya lingkungan, ekosistem, habitat, dan juga beragam kehidupan di dalamnya. Sebagai contoh; salah satu perusahaan tambang AS di Timika yang dengan sukses memusnahkan dua gunung untuk mengambil hasil alam tembaga dan emas. Lalu juga perkebunan kelapa sawit di wilayah Lampung dan Pekanbaru yang membabat sebagian besar habitat gajah sumatera. Kemudian ada isu over fishing, sehingga populasi ikan tuna di wilayah Nusa Tenggara Timur menjadi semakin sedikit. Seluruh peristiwa ini adalah bukti campur tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Kurangnya kesadaran akan menjaga keseimbangan lingkungan hidup memberikan konsekuensi yang merugikan bagi alam khusus manusia. Tidak meratanya pengetahuan mengapa pelestarian alam menjadi penting pun adalah bentuk konsekuensi dari kegiatan-kegiatan yang tidak mengedepankan resources sustainability. Untuk itu, dunia mulai sadar bahwa ekonomi hijau diperlukan. Suatu paradigma yang menitikberatkan pada pengelolaan segala faktor alam yang diperlukan untuk mendukung keberlangsungan hidup seluruh penghuni bumi. Tidak terkecuali manusia, namun juga segala flora dan fauna yang ada di dalamnya. Berjalannya impian besar ini memerlukan campur tangan dari seluruh aspek masyarakat mulai pemerintah, lembaga non-pemerintah, akademisi, perusahaan, dan juga seluruh masyarakat. 

Beberapa solusi konkrit mulai diimplementasikan oleh pihak-pihak yang bergerak di area jual-beli atau bisnis. Contoh di Indonesia adalah perusahaan lokal pengalengan ikan di Pangandaran yang mulai menerapkan zero waste atau tidak menghasilkan limbah sama sekali. Usaha tersebut mengambil hasil alam berupa ikan tangkapan dalam jumlah besar yang akan dieskpor. Ikan-ikan tersebut diolah dan menghasilkan limbah berupa kepala ikan. Limbah tersebut dikelola untuk dijadikan bahan pangan bagi peternakan bebek di perusahaan yang sama. Bebek-bebek tersebut akan diambil daging dan telurnya. Sebagian akan dijual ke pasar dan sebagian menjadi hak para pekerjan di pabrik tersebut. Menurut hemat saya, ini adalah salah satu contoh yang baik bagi penerapan ekonomi pro lingkungan.

Walaupun terdengar mulia, paradigma baru ini pun memiliki segunung hambatan untuk direalisasikan. Salah satu hambatan yang logis adalah keengganan bagi pelaku produksi untuk membatasi atau mengurangi input produksinya. Dalam misi pelestarian lingkungan, tentu harus ada ambang batas produksi tertentu yang harus direalisasikan. Namun dampaknya adalah turunnya potensi untuk memproduksi barang sebanyak mungkin. Timbullah kuota-kuota produksi tertentu yang dianggap tidak sejalan dengan paham kapitalisme baru yaitu maximize profit. Kurang lebih demikian analoginya. Bagaimanapun juga, proses yang instan tidak akan menghasilkan output yang baik. Itu hampir pasti. Maka dari itu proses pelestarian lingkungan harus dilaksanakan secara perlahan-lahan dengan memperhitungkan seluruh proses bisnis yang ada dan meminimalisir dampak buruk sesedikit mungkin. 

Di sisi lain, hal ini seperti simalakama. Jika produksi suatu usaha stagnan atau malah berkurang maka akan terjadi potensi permintaan pasar yang tidak terpenuhi. Lambat laun akan kehilangan pangsa pasar dan kehilangan faktor yang kompetitif. Hilangnya pangsa pasar akan cenderung menggerus perolehan pendapatan, sehingga kesempatan untuk membesarkan nilai perusahaan akan tidak optimal. Efek domino lainnya adalah kemungkinan tenaga kerja kehilangan pekerjaan dan para subjek bisnis kehilangan harapan karena semakin menurunnya skala perusahaan. Itu adalah hal jangka pendek yang dikhawatirkan oleh mayoritas pelaku usaha.

Inilah kendala yang harus dijawab oleh teori baru ekonomi hijau. Apakah paradigma baru ini dapat menjawab kecemasan pelaku usaha tersebut? Menurut saya, ya, apabila sudah ada kesadaran bersama bahwa keberlangsungan hidup itu memang tidak ditujukan untuk saat ini atau tahun depan semata. Subjek dari ekonomi hijau adalah generasi yang akan datang untuk tetap dapat menikmati dunia yang minimal sama dengan dunia yang kita tempati sekarang tanpa ada penurunan value yang signifikan. Bagi saya, ekonomi hijau bukan hanya teori di atas kertas, melainkan komitmen dari para orang tua generasi selanjutnya untuk menyediakan nilai-nilai hidup yang setara dengan kita. Sulitkah? Tentu. Hal ini membutuhkan jiwa dan komitmen yang luar biasa besar untuk mewujudkannya. 

Akhir kata, itulah yang saya rasakan selama melihat prosesi seremonial peluncuran buku ini. Mungkin saya adalah seorang pesimistis karena menyaksikan betapa rusaknya dunia ini karena ulah manusia. Sungguh sulit untuk memperbaiki ekosistem yang ada karena ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia masih terbatas. Sedangkan kerusakaan alam berjalan lebih cepat dari yang kita sadari. Saya telah sampai pada suatu pemikiran bahwa sebenarnya alam sama sekali tidak membutuhkan kita, tetapi berbeda sebaliknya. Saya bukan presiden, bukan menteri lingkungan hidup, bukan juga aktifis tetapi saya memiliki semangat ingin melihat kehidupan dunia yang lebih baik untuk anak-cucu kita. Paling tidak, hal ini bisa dimulai dengan selalu mempertimbangkan segala tingkah laku kita setiap saat. Apakah akan berdampak merusak alam atau tidak. Pikirkanlah walaupun kecil dan dengan cara yang paling sederhana. Bagi daur hidup di alam, tidak ada yang paling penting. Because every single thing matters.


Tidak ada komentar: