Minggu, 21 Desember 2008

Dia yang Kupanggil Birania

Aku terdiam sejuta kata ketika berdiri di hadapannya. Aku tidak mengerti kehidupan macam apa yang sedang kulalui saat itu. Segala kebahagiaan tampak mengabur sudah dan yang terasa hanya kepedihan, seperti terhapusnya memori-memori seorang yang menderita pasca-trauma perang. Atau seperti secarik kertas warna-warni yang tiba-tiba ketumpahan air hitam bertuba sehingga kotor bukan main dan tersobek-sobek. Berkedip pun rasanya berat dan airmata hilang terbang entah kemana saat kulihat seorang gadis terbaring tidak berdaya di atas branker. Nafasnya tidak beraturan. Terkadang memburu dan setelah itu tidak terlihat bernafas selama beberapa detik. Uap-uap air mengembun dan kembali hilang di pucuk oxygent mask yang melingkar di wajahnya. Jari-jarinya membiru beku, bibirnya menganga dan rambutnya yang indah tampak berantakan di atas bantal putih bersih. Sesaat kulihat ia seperti seorang yang kehilangan diri, terbaring layu dan tidak berdaya. Seakan-akan waktu pun berhenti dan segala yang ada turut memperhatikannya. Electro cardio graph pun tampaknya enggan bersuara seperti menandakan denyut jantung pasien normal, sedangkan yang ada hanya grafik hijau muda yang hampir seperti garis lurus horisontal. Aku betul-betul ingat sekujur tubuhnya dan aku masih merasa kuat. Keyakinan adalah benteng pelindung bagi hati yang hancur luluh dan ketegaran adalah bongkah-bongkah batu penyusunnya. Namun begitu kutatap wajahnya sekali lagi, aku melihat kedua mata yang sedikit membuka karena tidak terpejam dengan sempurna. Bola matanya sudah melihat tidak beraturan. Tidak sinkron. Sebelah kiri melihat ke bawah dan sebelah kanan agaknya melihat ke tengah. Saat itulah segala daya dan tenaga kutumpahkan saja di lantai. Kuyu dan kurasa itulah salah satu titik terendah dari kekuatan mental yang pernah kurasakan. Aku menyaksikan adik kecilku terbaring koma di suatu ruang gawat darurat dan tiada cahaya kehidupan lagi di matanya.

***** ***** *****

Kami adalah kakak-beradik yang jarang sekali akur. Bisa dibilang aku lebih sering membencinya daripada mencintainya. Segala yang kami lakukan pun menjadi masalah dan perdebatan. Mulai dari berebut tontonan televisi, lagu di radio lokal, memperdebatkan sikap dan cara bicara ke orang lain, sampai hal-hal yang amat sangat remeh. Mungkin orang tuaku menjadi salah satu pasangan yang paling dipusingkan di dunia dengan kehadiran kami berdua. Tetapi lembaran cerita sepenuhnya berubah setelah siang itu.

Alana Birania Casetra. Nama yang terlalu indah untuk seseorang yang jika ia berbicara , kekerasannya seperti senapan mesin SPM3 lengkap dengan 3.600 selongsong peluru yang siap ditembakkan sekali waktu. Bedanya, peluru itu adalah rentetan huruf dan kata. Keras kepala, judes, dan tidak pernah sekalipun mau mengalah dengan siapa saja, itulah adikku Bira. Bira lahir pada hari Sabtu Pahing dan saat itu ia berumur14 tahun. Dalam kepercayaan orang Jawa, seseorang yang lahir pada Sabtu Pahing akan tumbuh menjadi sosok yang berkarakter sangat keras. Memang, sifat dan takdir seseorang adalah milik Tuhan semata, tetapi agaknya mitos Jawa pun ada benarnya.

Bira berjalan turun menapaki satu persatu anak tangga sekolahnya pada suatu siang. Ia bersama beberapa orang kawannya dan sedang bersenda gurau layaknya anak SMP pada umumnya. Tak berselang beberapa lama, Bira merogoh tasnya untuk mengambil sebuah telepon genggam dan tampak tulisan pada layarnya "Mama". Ibuku menelepon dan memberitahukan bahwa beliau tidak jadi menjemput ke sekolah. Bira pun kesal bukan main dan mulai membentak kecewa. Ia terus menuruni tangga dengan cepat sambil setengah bersandar ke pagar tangga sebelah kiri. Sandaran setinggi pinggang tersebut menjadi pembatas antara tangga dan lantai dasar sekolah. Sambil menelepon, Bira kehilangan keseimbangan dan terjungkal kebelakang saat memunggungi pagar tangga. Tubuhnya meluncur deras 3 meter kebawah dan kepalanya menghantam dasar lantai terlebih dahulu. Ia terkapar tak sadarkan diri dan kejang tubuhnya seperti orang yang sedang dicabut nyawanya oleh malaikat maut. Semua orang pun gempar dan langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.

Di saat yang bersamaan aku sedang menghadiri sebuah pertemuan mahasiswa di Bandung. Kulihat telepon genggamku bergetar dan nomor tak dikenal memanggil. Lantas kuangkat dan suara seseorang yang tidak menyebutkan namanya memberitahukan bahwa kecelakaan fatal menimpa adikku. Aku langsung bergegas menuju mobil tanpa basa-basi lalu pergi meninggalkan Bandung. Hari itu aku tak membawa apa-apa selain diri dan pedihnya kekhawatiran yang belum terjawab. Bandung-Jakarta kutempuh dalam waktu 2 jam 30 menit, begitu cepat tanpa perhitungan dan kuinjak pedal gas sejadi-jadinya sore itu.

***** ***** *****

Itulah malam terpanjang dalam hidupku. Menit-menit menjadi sangat panjang saat aku memasuki ruang gawat darurat setelah menerobos bilik-bilik putih jauh di ujung lorong paling ujung rumah sakit. Berpuluh-puluh orang terduduk lesu di depan ruang VIP, beberapa diantaranya menangis sedu sedan dan sisanya membaca suratul yassin. Aku tiada lagi mengenal wajah-wajah itu, mereka seperti boneka-boneka yang berwajah sama. Raut-raut yang diliputi kesedihan. Seragam dan tampak semakin kelam. Yang kukenal hanya dua manusia yang saling berpelukan dimuka pintu VIP. Mereka biasa kupanggil ayah-ibu.

Laksana godam besar yang menghantam badan bertubi-tubi, hingga hancur remuk segala belulang. Mungkin itulah yang dirasakan oleh Ibu setelah melihat putri kesayangannya meregang nyawa diatas branker. Bagaimana tidak, Ibu mendengar Bira menjerit ketika Ia terjengkang di udara yang kemudian tidak ada lagi suara apapun yang terdengar lantaran telepon genggamnya pecah tercerai-berai menghantam lantai. Begitulah kurang lebih penjelasan dari bibiku, yang sedang bersama Ibu ketika adikku jatuh. Di bawah terangnya neon-neon rumah sakit, Ayah diam seribu bahasa dan bibir tidak berhenti melafazkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Tak lama berselang, seorang berjas putih keluar dari ruang VIP dan dialah Dr. Ade. Beliau adalah dokter yang pertama turun menangani Bira dan kegamangan raut wajahnya pun tidak bisa disembunyikan. “Bira mengalami gegar otak yang sangat parah, tulang cefalotoraxnya retak dan serpihan tulang harus segera dibersihkan. Kalau pihak keluarga siap, kami akan segera melakukan operasi besar dan Bira akan masuk ruang steril”, ujar Dr. Ade. Kami semua serempak menyetujui. Sekarang hanya tinggal menunggu sejauh mana kemajuan kondisi Bira dan selepasnya adalah operasi.

Memang perencanaan tidak akan selalu berhasil sesuai keinginan. Sejauh ini, kondisi tubuh Bira pun masih kritis. Beberapa kali Ia muntah darah dalam keadaan tidak sadar. Kami yang melihatnya pun seperti tercabik-cabik rasanya, melihat anak yang demikian mudanya harus merasakan penderitaan melawan rasa sakit dalam keadaan yang hampir berada di titik nol. Aku berucap dalam hati, “Sungguh jika semua hal ini akan menunjukkan keadilan Tuhan, maka kuatkanlah kami dan berikanlah kami semua hasil yang terbaik”. God works with miracles, God hears everything we say even if it is spoken deeply in our heart, God will hear it letter by letter, word by word. Tiba-tiba rasa itu muncul dari dalam hatiku. Dan operasi besar pun dilaksanakan tepat di hari ketiga sejak Ia masuk rumah sakit.

***** ***** *****

Aku kerap kali menemani Bira di ruang rawat inap. Satu minggu telah berlalu sejak peristiwa Ia jatuh dan sekarang pun masih terlelap dalam tidur panjangnya. Aku melihat sosok yang sama sekali berbeda dengan adikku. Rambut ikal panjangnya sekarang telah dicukur habis sejak operasi dan luka jahitan sepanjang 25 sentimeter di bagian kanan belakang kepalanya masih sedikit mengeluarkan bercak-bercak darah. Aku beberapa kali mengumandangkan adzan dengan sedikit berbisik di telinga kanannya sebelum Ia dioperasi. Itulah kali pertama aku beradzan untuk orang lain. Seringkali kuajak Ia bicara dalam tidur panjangnya. Janji-janji kuucap dan permohonan selalu kupanjatkan atas-Nya. Aku akan mengajaknya bermain seperti dulu ketika Ia masih kecil. Kami biasa bermain kejar-kejaran di rumah, bermain puzzle dari hadiah ulang tahunnya, atau sekedar menonton Lion King hingga kami hafal seluruh dialognya. Aku akan mengajak Ia ke tempat-tempat yang selalu diidam-idamkannya, walau hanya sekedar naik halilintar di Dufan. Semakin sering kuucap seribu janji, semakin banyak air mataku yang jatuh di telapak tangannya yang kugenggam. Penyesalan pun selalu berakhir dengan derai air mata.

Aku memang sangsi, telah menyia-nyiakan satu-satunya adikku sebelum Ia jatuh. Aku tidak mengerti arti dari harmonisnya sebuah hubungan darah. Aku seperti menghambur-hamburkan nikmat Tuhan dan malah memperburuk dengan gamblangnya sebelum Bira jatuh. Alasan pun terasa sangat klise, seseorang tidak akan pernah merasa memiliki setelah Ia merasakan pedihnya kehilangan. Beruntunglah kami sekeluarga karena Tuhan belum memanggil Bira ke sisi-Nya. Setidaknya sampai empat belas hari berjalan setelah Ia jatuh.

Di lain waktu, Ayahku tetap terlihat tenang pasca peristiwa itu. Beliau semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Sifatnya yang temperamental lambat laun berubah menjadi sangat lembut. Bahkan jauh lebih lembut dari Ibu. Tutur katanya menjadi sangat halus dan Ayah mudah sekali tersentuh ketika rekan-rekannya memberikan moral support. Untuk pertama kalinya juga dalam hidupku, aku dapat merasakan kehangatan kasih seorang Ayah.

Kami sekeluarga merasakan diri kami menghambur berkeping-keping atas hilangnya keseharian kami dirumah bersama Bira. Tak pernah kubayangkan bahwa setelah empat belas tahun Bira dilahirkan dari rahim Ibu, Ia harus mengalami perpindahan hidup yang drastis. Saat itu Ia hidup bertemankan infus dan jarum suntik. Jauh dari bayangan kenyamanan pada umumnya. Ibu sering bercerita bahwa beberapa kali beliau mendengar Bira menyebut-nyebut namaku dalam tidurnya. Bira pun belum juga siuman saat itu. Renyuhlah sudah rasa ini ketika mendengarnya. Sejak itu, hari-hari kami banyak dihabiskan dengan berpasrah diri dan warna-warni belum juga kembali lagi. Entahlah apa yang akan diberikan Tuhan, kami akan menerimanya sepedih apapun pemberian-Nya.

***** ***** *****

Empat tahun telah berlalu dari masa-masa kelam. Saat-saat ketika hati menjadi dipenuhi oleh harap dan rasa takut. Aku ingat betul pernah memegang tangannya dan mengajaknya berbicara di ruang rawat itu. Tidak ada sedikitpun yang terlupakan, walaupun bibirku terus menerus bicara dengan sesosok gadis yang tidak berdaya ada di pembaringan rumah sakit. Aku merasa sangat durhaka kepada Tuhan. Aku selalu datang untuk sujud kepada-Nya dengan sejuta pertanyaan tentang dunia dan rasa memiliki yang berlebihan. Sementara dunia ini hanyalah rentetan cerita, ruang dan waktu yang numpang lewat. Dan manusia bukanlah siapa-siapa di dalamnya. Mengapa kita selalu datang dengan pertanyaan? Tidakkah kita –manusia hina- memang seharusnya datang dengan penuh rasa syukur tentang seluruh peristiwa dalam kehidupan kita. Aku kembali ditampar oleh realita. Rasa malu telah menghabiskan sisa-sisa air mataku yang semalaman kutumpahkan seluruhnya. Ternyata sosok Bira adalah kunci dari harmonisnya kehidupan keluarga. Pelajaran untuk saling menghargai dan lebih menunjukkan kasih sayang ternyata kami temukan di saat-saat yang paling menyakitkan. Itulah sepenggal definisi tentang life-lesson menurutku. Sekarang aku bisa meneriakkan kasih sayang kepada siapapun di rumah. Ayahku. Ibuku. Semuanya. Itu semua karena hidayah yang diturunkan Tuhan melalui penderitaan yang dialami Bira. As I have stated before, God works with miracles.

Sementara itu, sesosok gadis remaja menghampiriku sambil memegang Haagen Daaz chocolate flavor kegemarannya, Ia bersorak-sorai riang lengkap dengan pakaian khas Aceh setelah selesai menarikan Saman di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Aku memeluknya erat-erat dan rasa bangga mengalahkan iri lantaran Ia telah menyukseskan acara 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional dan menjadi bagian dari 600 orang penari Saman yang masuk MURI dengan penari terbanyak di Indonesia. Ia memintaku untuk melepaskan eratnya pelukanku dan setelah itu berlarilah Ia menuju Ayah dan Ibu. Setelah itu, Ibu memanggil kami di ruang keluarga untuk segera menikmati hidangan makan malam Chicken Sniztzel super lezat buatan Ibu beserta sepiring besar Fettucini. Tak berapa lama berselang, kudengar Ibu memanggil seseorang yang sedang melepas sasak rambutnya yang dicepol saat menari Saman. Ayahku pun hanya manggut-manggut saja dan sedikit tersenyum kecut. Dialah sosok tersayang yang kami panggil Bira.

2 komentar:

pm mengatakan...

menyentuh.. irinya jadi biraa... terus jadi kaka yang baik yah :)

*your secret admirer*

Unknown mengatakan...

Hi Narlendra Wiryawan,

Ceritamu cukup membuat air mataku menetes setetes demi setetes,

God Work with Miracle

postingan yg pas untuk semua cerita itu ,

keep strong ya and faith allah beside you :)